BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Saat Pesona Apapun Tak Bermakna

Suatu hari, seorang laki-laki berusia 55 tahun sedang berjalan berdua anak lelakinya yang masih kuliah. Ayahnya bermaksud menanamkan cinta kampung halaman “lihatlah nak….disinilah ayah dulu dibesarkan, dulu ayah miskin. Ke sekolah tidak memakai sandal.”. Kemudian si ayah menunjukkan rumah tempat ia dibesarkan. Sang anak berusaha untuk santun memperhatikan dengan serius, tetapi sangat asing dengan tempat kumuh yang mereka datangi. ”Ayah, saya merasa agak sulit berempati ayah pernah berada di sini, karena kampung ini begitu kumuh, maaf. Tetapi sejak kami kecil dulu, ayah tidak begitu suka keluarga kita membicarakan kampung ayah. Saya merasa, ayah justru ingin melupakannya”. Sang ayah terkesima. Heran. Berusaha mengingat-ingat, memang dia tak pernah peduli selama ini. Keinginan kuat melihat kampung halaman hanya setelah dia beranjak tua. Setelah dunia tidak lagi membuatnya terkagum-kagum, sebesar apapun pesonanya. Setelah pensiun. Kalau dulu dia sangat bangga dengan yang bernama ’anugerah manusia paling bijaksana di dunia’, dimuat di media, diwawancara, padahal anugerah itu hanya skenario saja. Dulu, juga dia sangat bangga kalau menerima telefon dari orang yang super penting tempat ia menjadi budak elit. Dulu, hadir di istana negara, berbincang dengan petinggi-petinggi negara adalah kenikmatan yang tak terhingga. Euforia luar biasa. Gembira, bangga yang meluap-luap. Perlahan....waktu berlalu dengan deras. Otak, tulang dan jiwa semakin lemah. Bahkan untuk beranjak dari duduk ke berdiri saja , dia harus berjuang. Apapun tak lagi menggairahkan. Hambar. Saat ’rasa yang hilang’ itulah sang ayah semakin melankolis. Ingin pulang. Kata ’pulang’ membuatnya pergi ke tempat yang teduh. Keinginan ’pulang’ sangat kuat. Tetapi lagi-lagi ’pulang’ ayah hanya berguna untuk sang ayah. Bukan untuk siapa-siapa. Memang fase hidup sang ayah yang nyaris ’tak berguna’ lagi itu wajar saja kalau dia ingin tempat yang aman. Menunggu maut menjemput. Bahkan setelah tua bangka sang ayah tetap berorientasi pada dirinya sendiri. Sang ayah tidak tahu bahwa selama dia ’perkasa’, kampungnya sudah bukan milik teman-teman lagi. Semua milik perusahaan serakah, penghisap darah. Sang ayah juga tidak tahu jumlah Sekolah Dasar tidak kunjung bertambah, malahan sudah banyak digusur menjadi kebun-kebun penjajah bangsa. Mereka ingin tenaga yang murah, jadi kalau perlu kebodohan ini dipelihara sampai turunan ke seribu. Betul-betul membuat geram. Tetapi sang ayah tak pernah geram teman-teman sekampungnya diperlakukan sehina itu oleh penjajah. Kalau saja dia lihat sendiri dengan dua biji bola matanya sewaktu belum rabun dulu, anak-anak kawan sepemainannya yang tak tamat SD itu bekerja di kebun, dibayar sangat murah. Tapi dia tak pernah miris, sedih, atau sangat marah, apalagi menangis. Dia sekarang memang melankolis. Tetapi semata-mata karena hormon testosteronnya sudah mulai menurun. Istilah andropause mungkin lebih tepat (kalau perempuan menopause). Juga karena tulang-tulang yang ngilu setiap digerakkan. Kalau hanya sebatas koleksi beberapa rumah di darah elit, atau perusahaan koneksi yang berhasil dibina sewaktu ia perkasa dan penuh KKN itu, juga tak membuatnya merasa bangga dan puas yang tak terkatakan. Dia lupa, hari tua yang menentramkan itu hanya diperoleh sewaktu mengingat karya-karya yang diciptakan dengan jujur, sarat dengan idealisme. Tidak bisa dijabarkan kepuasan yang tak terhingga. Suatu ’rasa’ yang sangat mahal, dirajut puluhan tahun. Kalaupun sang ayah ’pulang’, hanya untuk dirinya sendiri. Self oriented. Wallahua’lam

0 comments: