BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Kematian

Mana antara dua hari yang aku takuti
Hari yang telah atau belum ditentukan
Yang belum ditentukan tidak aku takuti
Takut tak selamatkan aku dari ketentuan
Ali r.a.

Dalam buku manajemen kematian Khozin Abu Faqih yang diterbitkan oleh Syaamil mengatakan ‘kematian adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah dan kedatangannya tidak dapat dielakkan, maka mengapa takut padanya? Toh, takut atau tidak, kematian tetap akan datang. Kita juga diingatkan pada surat Annisa”Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
Akhir-akhir ini kematian terasa begitu dekat. Seperti akan menghampiri setiap jiwa. Sambil berfikir dengan cara apa saya menjemput kematian? Sewaktu melihat jasad Pak Harun Badila, penasehat yang sangat kami sayangi- diturunkan perlahan ke liang lahat beberapa minggu yang lalu, wajah-wajah orang yang berada di sana terpana, sedih, dan pilu . Di dalam hati bertanya-tanya, kenapa begitu cepat. Kenapa tidak sempat silaturrahim ke kantornya. Kenapa tidak menelefon paginya untuk bertanya apakabar. Kenapa serba tidak sempat?
Selalu saja setelah waktu berlalu kita menyesal kenapa tidak berkesempatan berbuat kebaikan untuk mereka yang sewajarnya kita berbuat baik. Kematian memang akan menjemput setiap jiwa. Tetapi kita selalu gede rasa “ah, masih lama”. Lalu setelah melihat pesawat yang jatuh, terbakar berkeping-keping, kita memang bergidik sambil bergumam dalam hati ‘Kalau saja aku salah satu penumpangnya, habislah’. Kita seperti sedang menunggu giliran saja. Tsunami, wabah flu burung, demam berdarah, masih saja kita lolos dari seleksi alam itu. Tentu saja bukan karena kita spesies yang maha kuat karena semua virus atau bencana alam, atau pesawat yang kita naiki semua di luar kekuasaan kita untuk menghindarinya. Manusia teramat sangat lemah untuk merasa aman. Kita yang hidup justru sedang dihajar habis-habisan secara emosional menyaksikan seluruh azab atau ujian ini dengan hati yang miris. Luka dan ketakutan.
Apakah jiwa kita yang kasar perasaan ini akan tersentuh atau hanya sekedar bersyukur selamat dari seluruh bencana tadi? Bukankah yang hidup justru yang masih mampu merasakan kepedihan menyaksikan cara melayangnya jiwa dengan tiba-tiba. Diluar dugaan. Kita memang berduka. Tetapi ada baiknya duka ini kita masukkan ke dalam salah satu ruang hati sebagai rem. Rem yang mengingatkan kita hanyalah sebutir debu yang hina. Rem yang mampu mengendalikan sifat-sifat hewan yang bersemayam dalam benak kita. Karena fisik ini hanyalah rumah sang jiwa untuk sementara. Fisik ini akan busuk, berulat. Tapi jiwa akan kekal. Jiwa akan kembali kepada pemilikNya. Cepat atau lambat. Tapi pasti. Pasti. Kalau saja seluruh peristiwa tsunami, penguburan massal, pesawat jatuh, mayat-mayat yang terbakar ditayangkan setiap hari oleh seluruh media dapat melembutkan jiwa-jiwa yang keras dan mengurangi sifat tamak. Kenapa tidak kita pakai untuk menghentakkan jiwa kita dan berdesis ‘Masya Allah’ dan berdoa Ya Allah jadikanlah hariku yang terbaik adalah hari saat berjumpa dengan Mu.

0 comments: