Aku tertidur dan mimpi bahwa hidup ini adalah kesenangan.
Aku terbangun dan melihat bahwa hidup ini adalah pengabdian.
Aku bertindak, dan lihatlah, pengabdian memang menyenangkan
Suatu hari saya menghadiri acara drama musik dan penampilan permainan angklung anak saya yang masih kelas 1 Sekolah Dasar di sekolahnya. Beberapa hari sebelumnya dia sudah sibuk menanyakan dengan gaya menguji ’Ibu tau kabaret nggak? ”Apa ya...drama yang ada musiknya, ada nyanyi...?” jawab saya agak ragu .”Betul...padahal ayah nggak tau lho. Kata ayah waktu kemaren muthia tanya, kabaret itu orang nyanyi-nyanyi sambil sandiwara”. ’Ih, kan sama aja jawaban saya dan ayahnya’ fikir saya. Cuma kata drama dan sandiwara. Tetapi seperti biasa, sosok ayah kebanyakan hanya tau ilmu profesionalnya. Jadi jawaban ibu selalu dianggap paling oke dan benar. Sewaktu acara manggung kabaret yang berjudul ’save our earth’ sudah dimulai, dia sudah tersenyum sangat lebar memastikan bahwa ibunya hadir setelah melihat kedatangan saya. Beberapa wajah kecil lain di panggung memanjangkan leher sambil menoleh kiri kanan mencari-cari dimana posisi duduk orangtuanya. Saya senyum-senyum saja. Anak-anak saja butuh pengakuan dan ingin kita menyaksikan aksi panggung atau kabaret yang dibangga-banggakan itu. Cepat-cepat saya silentkan handphone. Berusaha fokus dan melupakan urusan kantor yang tak pernah habis. Waktu yang dikorbankan memang hanya satu jam. Tetapi Insya Allah akan dikenangnya seumur hidup.
Keesokan harinya sebagai penutup thema ’save our earth’, orangtua kembali harus mendengarkan presentasi masing-masing anak. Guru membuat kelompok setiap 3 anak dan 3 orangtua bersama dalam ruangan. Anak-anak digilir satu persatu. Ada tema polusi sampah, polusi air, polusi udara. Masing-masing siap dengan foto yang telah dilekatkan pada stereoform dan komentar mengenai polusi. Pada sesi tanya jawab, salah seorang ayah menanyakan pada anaknya, ’kalau ada pabrik yang buang limbahnya ke sungai, Rara harus melaporkan ke siapa?’ Jawab Rara ringan ’Melaporkan ke ayah’. Kami semua tertawa. ’Kalau sampah banyak lalat, bisa bikin apa nak? ’ Bisa bikin mati’, kata anak saya pelan. Presentasi kali ini, jauh lebih menarik dari pada presentasi apapun yang pernah saya hadiri. Apa adanya. Jujur. Sederhana. Setelah membahas ketiga polusi , sambil membawa hasil karya ’save our earth’ diatas stereoform tadi dengan selogan dan foto mereka, kami pulang. Saya tidak banyak memuji dalam perjalanan pulang. Tetapi hanya memeluk dengan erat sepenuh hati sambil berbisik. ’Ibu akan kasi reward, Muthia hebat presentasi dan hasil karyanya’. Ada senyum dan harga diri yang melambung. Ada mata yang bercahaya. Ada cinta. Siapa yang dapat menggantikan rasa ’bonding’ – ikatan- ibu dan anak seperti ini? Tidak ada yang dapat membeli ketulusan, penghargaan, kepercayaan dan rasa aman antara orangtua dan anak. Kalau anda ingin dikenang sepanjang hayat mereka, mari kita ciptakan setiap detik yang berharga dengan membuat mereka merasa berharga, tak ternilai. Indah, bukan?
Selasa, 03 Februari 2009
Mata yang Bercahaya
Posted by susi at Selasa, Februari 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar