Gadis itu bernama Kemala. Seorang gadis yang beranjak dewasa, sedang merenung di kamar tidur. Memandang langit-langit kamar. Mengingat luka-luka yang telah terukir dihatinya. Menoreh tajam, Berbekas. Dia telah bersikukuh untuk menekan seluruh emosi yang timbul setiap mengingat peristiwa yang sangat ingin dihalau jauh. Sewaktu menoleh kearah komputer, Kemala berdesis “Tuhan, seandainya aku sebuah komputer akan ku hapus semua memori yang menyakitkan ini tanpa bekas.’
Kemala hanyalah salah satu contoh anak-anak dan remaja yang mengalami stress akibat perilaku yang keliru. Konflik yang dialami membuat Kemala ingin hanya menjadi benda .Anak-anak kita memang diam. Terlihat seperti sedang tidak bermasalah. Tapi ternyata anak-anak selalu berbicara dalam hati dan bingung dengan perilaku dan model yang salah yang dilihatnya setiap hari. Padahal kita mungkin lupa bahwa kelak, Kemala akan menjadi seorang ibu.
Saat ini banyak ibu yang akhir-akhir ini menjadi buas. Emosi kekecewaan, putus asa, marah dan miskin, membuat segala sesuatu tidak terkendali. Orang kaya juga bukan berarti tidak terdapat kekerasan yang lebih ngeri. Mengapa manusia dilengkapi dengan perangkat otak yang tidak pernah bisa menghapus setiap kata yang terdengar. Mengapa manusia tak pernah mampu memahami apa yang didengar dan dilihat terekam oleh otak dan terhubung dengan perasaan. Sambungan tadi melahirkan emosi-emosi. Malahan, seluruh kata-kata atau sikap yang diterima seorang anak, akan terus membentuk rangkaian kenangan dan membentuk perilaku. Ibu-ibu buas yang melakukan kekerasan terhadap anaknya sendiri juga dulu pernah jadi anak-anak. Kenapa dia menjadi buas? Mungkin dididik oleh orangtua yang juga buas. Begitulah sikap buas diwarisi turun temurun.
Kita, dan mungkin orang Indonesia pada umumnya adalah produksi keluarga yang buas. Mau bukti? Silahkan saksikan bahasa tubuh orang Indonesia yang sedang ngantri. Sering antrian meluas kesamping, atau kepala melihat-lihat ke arah depan tempat kasir pemesanan. Ekspresi yang diberikan, adalah ekspresi ketidaksabaran. Kompetisi tidak bisa fair, adil kalau setiap individu bersikap buas.
Kembali pada kisah Kemala di atas, Kemala hanya merasa muak melihat orangtuanya memakai berbagai topeng. Topeng di rumah, topeng di kantor dan topeng di acara resmi. Begitu banyak stok topeng yang ada. Setelah Kemala mulai bisa menganalisa karena sudah beranjak dewasa, dia mulai mempertanyakan topeng mana yang paling pas dan sesuai? Topeng mana sebenarnya yang cocok. Topeng mana yang benar. Apa standar kebenarannya. Kemala tidak suka lagi dengan topeng karena dia mulai menyadari bahwa topeng tadi digunakan ayah dan ibu hanya untuk sebuah kepentingan. Standarnya bukan kebenaran tetapi kepentingan dan pengakuan. Kemala mulai mempertanyakan apakah pakaian, tas dan bahkan mobil yang mengantarnya ke sekolah hasil dari topeng-topeng tadi. Kemarin dia menyaksikan ayahnya menerima amplop tebal sambil menyeringai senang. Tapi kenapa harus berbisik dan memilih ruang belakang rumah di pertemuan itu. Kenapa ayah tidak menerima tamu seperti biasa di ruang tamu. Kenapa mobil tamu itu diparkir di dalam garasi mereka, padahal tamu lain biasanya di halaman depan? Wajar, kalau konflik perasaannya membuat Kemala ingin hanya menjadi sebuah computer. Wallahua’lam.
Selasa, 03 Februari 2009
Andaikan Aku Sebuah Komputer
Posted by susi at Selasa, Februari 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar