BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 01 Februari 2009

orangtua, tolong lihat lembaga pendidikan anak kita

Setelah menjelajah dunia pendidikan 15 tahun terakhir, ada hal yang menjadi ganjalan perasaan saya. Nampaknya orangtua, masih punya konsep ide kuno. Dari mulai usia playgroup smpai mahasiswa, keterlibatan orangtua dengan pendidikan anak betul-betul sedikit. Terutama ayah. Akibatnya, ya jadilah sekolah diharapkan jadi tempat pembentukan karakter. Tapi sebenarnya, harapan orangtua jadi tidak kesampaian. Tapi mereka tidak tahu.
Sekolah, sejak mulai playgroup sekalipun, membuat konsep pendidikan yang sehebat apapun, tetap saja, durasi bertemu dengan guru, hanya 2 jam perhari paling banyak. Belum lagi bersaing dengan siswa lain di sekolah. Kalau idealnya 5 anak dikelola satu guru, ibaratnya seorang ibu melahirkan 5 anak kembar, karena harus memperhatikan 5 siswa sekaligus dalam waktu yang sama. Repot kan? Alias tidak mungkin.
Belum lagi kalau gurunya minim wawasan, kurang suka informasi, kasian anak didiknya. Tetapi sekali lagi orangtua tidak tahu.
Usia TK lebih memprihatinkan, satu kelas TK negeri dan beberapa TK swasta bisa mencapai 30 siswa sekelas. Ibaratnya, seorang ibu melahirkan 30 anak kembar, mengawasi dan mengajarnya anak kembarnya dalam waktu yang sama! Orangtua happy-happy aja tuh, ndak stress. Apalagi kalau dikabari guru, anaknya juara mewarna, berani nampil, tulisannya rapi, udah bisa baca dsb yang bagus-bagus.
Kebiasaan ini terus berlanjut, dengan perbandingan jumlah siswa yang semakin membesar. Saya malah pernah melihat. salah satu kelas di Sekolah Dasar di ibukota propinsi. Sekolah Negeri favorit pula, sekelasnya 50 siswa. Kalau lihat siapa saja orangtuanya, mulai pengusaha, anggota dewan, pejabat, dokter, semua ada. Tapi sekali lagi orangtua tidak tahu.
Sampai SMP, SMA ya... seperti itulah. Apa mungkin ya, karakter anak akan terbangun, kalau ngajarnya gaya terpusat pada guru seperti ini?
Anak-anak kan punya keunikan dan karakter tersendiri. Belum lagi gaya belajar dan kecerdasan yang pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Akibatnya . ya... itu tadi. Waktu daftar ke kampus, yang sekarang model belajarnya sudah mulai pakai sistem problem base learning, produk siswa tadi. jadi banyak bengongnya.
Kalau ada istilah mendadak dangdut, mungkin calon mahasiswa tadi disuruh mendadak cerdas, bijaksana, proaktif, bahasa Inggris denga score toeflnya 650, punya rasa ingin tahu yang tinggi, pintar mengatur waktu, kemampuan mengemukakan pendapat yang bagus dan tertata, semangat teamwork yang hebat. Pokoknya segala kemampuan 'leadership' bagaikan kaliber Obama, Gandhi, Muhammad Yunus Grameen Bank.
Kadang kita kurang menghargai proses ya. Bahkan untuk anak sekalipun, kita anggap seperti memproses pembuatan benda. Seperti mengkarbit artis dadakan.
Saat ini, saya juga mengelola pendidikan kedokteran swasta dengan sistem PBL. Saya hanya kasian dan sedih melihat mereka terseok-seok mengikuti sistem Problem Base Learning, tanpa karakternya dibangun secara bertahap. Apa mungkin setiap tahap pendidikan merupakan arena penyiksaan jiwa anak-anak bangsa ini? Bukankah seharusya orangtua peduli proses dari awal membangun karakter anak-anaknya sejak dalam kandungan bahkan sejak berencana akan memiliki anak.
Ya...begitulah....masalah orangtua sudah sangat banyak mungkin ya...

0 comments: