Kota Pekanbaru yang awalnya pada masa lalu bernama Payung Sekaki. Sebuah dusun kecil yang terletak di pinggiran Sungai Siak. Nama Senapelan juga menjadi nama lain desa kecil ini. Kemudian pada tanggal 23 Juni 1784, desa ini berkembang pesat setelah lokasi pasar (pekan) lama pindah ke seberang. Akhirnya nama kota Pekanbaru menjadi abadi sampai sekarang. Kota kita yang seluas 632,26 km persegi ini, berhampiran dengan Povinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Provinsi Jambi. Kota bertuah memang tengah berkembang pesat. Sektor keuangan dan perdagangan menjadi kontributor terbesar. Diikuti dengan usaha industri pengolahan. Sebanyak 70. 468 orang memilih bekerja di bidang perdagangan. Dari 12 perusahaan industri besar yang ada, menyerap 9.457 tenaga kerja. Banyak perusahaan besar berkiprah disini.
Sesuai namanya, Pekanbaru yang berarti pasar baru, di masa depan diharapkan akan menjadi kota jasa yang punya pengaruh besar, tidak saja bagi kota-kota di Sumatera tetapi juga negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Untuk mengantarkan kota ini menjadi kota yang representatif sebagai kota yang dibanggakan, tentu saja diperlukan karakter kepemimpinan yang kokoh dan solid. Pemimpin dan daya dukung orang-orang disekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang dirujuk orang lain ketika misi harus di tegakkan, membuat terobosan-terobosan, dan mencapai tujuan-tujuan secara tepat waktu dalam anggaran yang terbatas.
Kota Pekanbaru Saat Ini
Kepadatan penduduk per-kilometer menurut kabupaten/kota menunjukkan bahwa kota Pekanbaru menempati urutan tertinggi di Riau yaitu 1311,18 per km persegi. Sensus pada tahun 2003, menunjukkan jumlah penduduk kota Pekanbaru sebanyak 693.912 orang. Dengan distribusi jumlah penduduk usia produktif 15-49 tahun berjumlah 431.250 orang. Dari data The National Labor Force Survey 2004, angkatan kerja sebanyak 199.339 orang. Dari angka tersebut, 175,909 orang telah bekerja dan sebanyak 23. 430 sedang mencari pekerjaan atau menganggur. Tentu kalau diurut satu persatu, permasalahan yang dihadapi Pekanbaru tidaklah sedikit. Tingkat kriminal yang tinggi, kasus narkoba, dan perumahan liar yang merebak. Juga banjir yang masih melanda. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di kota Pekanbaru mencapai 10,91% atau 76. 841 orang, dimana yang terbanyak ada pada Kecamatan Tenayan Raya, yaitu sebanyak 14.100 orang dan di Kecamatan Rumbai 9.394 orang. Sementara jumlah anak yang tidak bersekolah 3.401 orang, 1.938 diantaranya adalah anak wanita. Presentasi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak pernah sekolah pada tahun 2003 sebanyak 0,45%, dan yang tidak bersekolah lagi pada tahun 2003 sejumlah 74,16% (Pusat Data & Informasi Perempuan Riau).
Data-data di atas menggambarkan seriusnya masalah kota Pekanbaru, terutama dalam masalah kemiskinan dan kebodohan. Padahal kita berada pada ibu kota Propinsi, yang semestinya sangat dekat dengan pusat kekuasaan dan penentu kebijakan. Dimana letak permasalahan sebenarnya?
Kota seperti apa yang kita inginkan
Kemajuan bukan hanya sebuah simbol-simbol. Tetapi suatu realitas penyelesaian masalah yang terstruktur dengan jelas. Prioritas bukan pada penegasan bahwa kota ini kota melayu saja. Tapi lebih dari itu. Seorang pemimpin yang diharapkan adalah sebuah konsistensi yang jelas dalam membuat skala prioritas. Masyarakat memerlukan tindakan yang nyata. Bukan yang seolah-olah real atau semu. Simbol Melayu yang kita junjung tinggi, dengan pakaian atau bentuk bangunan dan warna kota apakah memberi suatu perubahan sikap masyarakat. Apakah simbol tadi memberi pengaruh positif dalam pola fikir masyarakat, atau budaya menjadi prioritas mengalahkan isu yang lebih urgent. Karena kita sudah sepakat bahwa musuh terbesar saat ini adalah kebodohan dan kemiskinan. Kebodohan kita sudah sampai pada level yang mencemaskan jiwa. Angka Riau 65 % penduduknya berpendidikan Sekolah Dasar sudah menjadi cambuk yang tajam. Kalau kita memang bagian dari sistem di propinsi dan kota ini, tentu kerisauan tadi diikuti langkah konkrit. Program perencanaan pembangunan yang tidak jelas membuat kita menjadi bahan tertawaan propinsi lain, bahkan dunia. Apalagi termasuk dalam 4 propinsi terkaya di Indonesia.
Bahkan sebuah negara yang sangat melayu seperti Malaysia berani menegaskan heterogenitasnya dengan mengatakan dirinya ’truly asia’. Tetapi Badawi menaikkan thema ’mari membaca’ sebagai jargon utama membangun image bangsa yang berpendidikan. Penekanan atau stressing yang diungkapkan oleh sang pemimpin akan mencerminkan apa yang akan menjadi skala prioritas dan paradigma berfikir sang pemimpin. Tentu saja jargon utama tadi akan menentukan bentuk-bentuk kebijakan yang diambil. Masyarakat yang tetap menjunjung tinggi budaya tetapi bermarwah karena disandingkan dengan ilmu dan pendidikan yang membuatnya terhormat. Manusia konsisten yang sangat memahami mengapa dia dihadirkan oleh Allah SWT di muka bumi ini dengan konsekwensi memegang amanah yang agung dan bermartabat..
Ada di dalam tulisan Yusuf Qardhawy yang berjudul ’Umat Islam Menyongsong Abad ke-21’ mengatakan ’Kita lihat negara maju terbesar di dunia, sejak beberapa tahun lalu, membuka pintu untuk autokritik terhadap sistem pendidikannnya. Amerika meminta agar orang-orang Jepang mengkritik sistem pendidikannya. Mereka menemukan titik kelemahannya sekaligus memberikan saran-saran penyelesaiannya. Sementara kita tenang-tenang saja dengan kondisi kita, membiarkan kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya, seakan-akan ia dalam kondisinya yang terbaik.’
Autokritik memang jauh lebih efektif dari pada mendengar kritik. Sistem pendidikan Amerika yang sudah sangat maju (kita anggap), masih perlu pendapat lain dari negara lain yang justru dari negara yang selama ini dianggap Amerika sebagai kompetitor utama dalam industri dan perekonomian. Berbeda dengan orang Indonesia, kita lebih suka main di permukaan, rasa puas diri yang berlebihan, mengagumi diri dengan karya-karya yang tak seberapa. Selalu lupa, bahwa karya nyata, tidak dapat diatasi dengan seremonial dan anugerah. Kita tetap memiliki masyarakat yang profesional dan dianugerahi kemampuan berfikir dan menganalisa kinerja seorang pemimpin. Mereka mungkin tidak banyak bicara, menghakimi, mengadakan demonstrasi atau memaki dalam tulisan-tulisan tajam. Hanya saja timbul pertanyaan – kita ingin dikenang sebagai apa? Tapi yang jelas, manusia profesional atau rakyat jelata tidak hanya terdiri atas sekumpulan tulang, daging, dan darah – di dalam jasadnya ada jiwa dan ruh yang dapat merasakan apa yang telah dilakukan sang pemimpin terhadap diri dan masyarakatnya.
Kota yang kita inginkan, bukan sebatas dipercantik dengan asesori. Terlihat indah dari luar. Kita menginginkan masalah diatasi secara substansi. Masalah kebodohan, korupsi, kerumitan birokrasi, kemiskinan, banjir, mafia-mafia terlindungi saling mengamankan dan sebagainya – dengan kata lain ada sebuah perbaikan yang jelas terlihat dan dapat dirasakan, perubahan ke arah yang lebih baik. Seorang pemimpin yang mampu memaksa dirinya untuk jadi pemenang , siap untuk tidak disenangi dan tidak populis dikalangan birokrat karena membuat perubahan pada kota Pekanbaru dan masyarakatnya yang terencana dan arif tetapi tegas. Ada keberpihakan yang jelas pada rakyat.
Kesadaran masyarakat Pekanbaru dalam menentukan pemimpinnya
Sebagaimana dalam pepatah Jerman mengatakan Aller Anfang ist schwer, memulai sesuatu itu tidak mudah. Perpolitikan di Indonesia, telah berlaku pemilihan langsung dalam memilih pemimpin kepala daerah. One man one vote. Tidak peduli latar belakang pendidikan warga masyarakat Pekanbaru, yang jelas setiap warga kota Pekanbaru yang telah terdaftar mempunyai hak memilih siapa calon pemimpinnya di kota ini. Profesor atau pemulung, tetap mempunyai nilai suara yang sama. Pada saat sistim memilih calon pemimpin dengan langsung, maka menjadi tugas para profesional, akademisi dan warga masyarakat yang berpendidikan tinggi untuk mendidik masyarakat kesadaran akan hak dan kewajiban memilih seorang pemimpin yang mempunyai kompetensi. Pemimpin yang mampu menggerakkan masyarakat banyak dan memiliki kompleksitas permasalahan, ketingkat kemajuan dan kedewasaan baru.
Dengan sendirinya, sebagai bagian dari masyarakat, kita mungkin tidak bisa hanya mengandalkan hati nurani sebagaimana yang dituliskan di spanduk-spanduk kampanye cawako dalam memilih pemimpinnya. Atau mengandalkan perhatian sesaat calon pemimpin pada waktu dia sangat mengharapkan suara kita mendukung. Sehingga saat ini penduduk seperti menuai kebaikan, keramahan, mungkin materi dan perhatian yang berlebihan dari calon pemimpin, berbeda dengan bulan-bulan yang lalu. Sekali lagi pemimpin memperlakukan rakyatnya sebagai kumpulan darah dan daging tanpa jiwa, bahkan –maaf- tanpa otak. Kalau Stephen Covey mengatakan, pendekatan calon pemimpin pada rakyatnya dengan gaya seperti ini, adalah pemimpin bergaya manajemen krisis.
Proses memilih pemimpin dan siapapun yang akan menjadi pemimpin pada saat ini, membuat suatu image bahwa proses menuju kesana seperti suatu proses mencapai tangga-tangga karir sang pemimpin. Bukan tangga mengatasi masalah rakyat yang sebenarnya. Tangga setelah menjadi kepala dinas, tangga setelah menjadi walikota, tangga-tangga yang tidak menyentuh masalah sebenarnya kota Pekanbaru. Kita seperti sedang bermain monopoli, menjadi pemenang atau kalah. Arena yang diciptakan akan menyesuaikan sistem yang berlaku. Kalau kontribusi kita besar terhadap satu komunitas, maka akan diperhitungkan.
Kompleksitas masalah akan terselesaikan oleh orang yang mempunyai kompetensi. Walaubagaimanapun daya dukung sangat menentukan warna kepemimpinan seseorang.
Kita tidak mampu bekerja sendiri. Daya dukung akan memberi warna keputusan-keputusan yang akan diambil. Siapa orang-orang yang ada disekitar sang pemimpin, yang akan memberikan pandangan-pandangan dan ikut memberikan pertimbangan dalam membuat sebuah kebijakan. Orientasinya bukan pada figur atau individu sang pemimpin. Tetapi lebih jelas pada program, cerdas pelaksanaan , konsistensi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sekali lagi, bukan pada simbol, tetapi pada implementasi perbuatan. Bukan retorika seolah-olah.
Mungkin, kondisi bangsa semakin membuat semangat orang-orang di Indonesia sudah susah untuk bangkit. Tentu saja itu juga terasa pada masyarakat di Pekanbaru. Masyarakat lebih cenderung untuk apatis. Kemampuan membedakan antara harga diri dengan perjuangan. Kebutuhan dengan keinginan. Karya dengan prestise. Prioritas dengan kepentingan. Nyaris masyarakat kita tak punya kemampuan membedakan makna kata yang tersirat. Begitu juga dengan sang pemimpin. Terjadi split personality. Pribadi yang pecah. Mana diantaranya yang benar karena banyak wajah yang dipakai sehingga dia sendiri lupa wajah mana sebenarnya yang dimiliki. Atau seperti seorang jompo yang telah menurun kadar hormon yang selama ini membuatnya menggelora. Seperti terseok-seok untuk tetap ingin memilih sang pemimpin. Harapan yang mana lagi yang dapat membuat ketertarikan, semangat dan hasrat untuk kehidupan yang lebih baik. Figur idola yang dapat menggerakkan harapan bahwa calon pemimpin itu seseorang dengan kriteria ideal secara teoritis dalam visi dan misinya. Kemudian nihil dalam implementasi. Atau berlaku suatu keputusan. Jika memang tidak ada lagi yang layak dipilih sebagai pemimpin, kita diberi pilihan kriteria minimal, siapa diantara kandidat itu yang paling sedikit menimbulkan kerusakan atau mudharat pada masyarakat dan kota Pekanbaru.
Selamat memilih.
Selasa, 03 Februari 2009
Peran Masyarakat Kota Pekanbaru Dalam Memilih Pemimpinnya
Posted by susi at Selasa, Februari 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar