Tak seorang pun, untuk jangka waktu yang cukup panjang,
bisa memasang satu muka untuk dirinya sendiri,
dan muka yang lain bagi khalayak umum
tanpa akhirnya menjadi kebingungan sendiri mengenai mana yang benar.
NATHANIEL HAWTHORNE
Saya mulai harus menjawab beberapa pertanyaan unik akhir-akhir ini. ‘Ibu, kenapa mereka dipenjara?’ Beberapa surat kabar akhir-akir ini sering memuat berita buruk terus pada halaman pertama, malahan menjadi headline. Akibatnya, anak-anak bingung. Di dalam pemikiran terbatas mereka, penjara itu hal mustahil didiami oleh orang-orang kaya yang terhormat. Mungkin pelajaran di sekolah tidak membumi lagi, dengan keadaan bangsa kita yang semakin seru tragedi demi tragedinya. Tentu saja menghakimi bapak-bapak yang malang itu tidak saya lakukan. Jawaban yang sehat tentu harus disiapkan agar dia juga tidak merasa sok suci.
Akhirnya, saya menemukan juga satu kutipan lagi dari sebuah buku, bahwa manusia yang terdiri atas tulang, daging dan darah itu tidak dapat selamanya benar. Kadang suatu perbuatan benar menurut dia pada saat itu dan juga benar menurut orang-orang disekitarnya. Kemudian beberapa tahun kemudian, perbuatan itu sudah tidak benar lagi karena banyak hal. Bisa karena orang sudah memiliki nilai yang berbeda atau peraturan yang berubah. Akibatnya orang yang dulu perbuatannya dianggap benar, menjadi tidak benar, kemudian dia harus dihukum. Jawaban itu tentu susah dicerna.
Kasian anak-anak kita memang. Kurikulum di sekolah hanya memberi nilai-nilai dasar yang harus dimiliki manusia, kemudian di luar halaman sekolah nilai-nilai tadi tidak dia temukan di rumah, di teve, di jalan, di surat kabar, di kantor ayahnya, di mall dsb. Kurikulum moral seperti kisah dongeng yang tidak ada di dunia nyata. Mungkin lebih baik kalau budi pekerti yang diajarkan, adalah kenyataan di luar sana dan bagaimana kiat menghadapi kemungkinan-kemungkinan saat mereka dewasa dan berada di dunia kerja. Bagaimana agar tidak gamang kalau diberi amanah jabatan, uang, kekuasaan. Bagaimana agar tetap komitmen dengan kebenaran dan tidak peduli dengan pengakuan. Tahan dengan makian, cacian, penghinaan dan menghadapi orang dengki. Tangguh.
Anak-anak sebagaimana juga kita dulu, menjalani dunia ini tanpa peta. Kita dilepas ke dalam belantara manusia di dunia nyata yang membingungkan. Kalau punya prinsip idealis, jujur, malah jadi bahan omongan dan dikucilkan atau diancam dengan keji, dan dituduh munafik, goblok dan dungu. Perasaan manusia Indonesia mungkin harus terbuat dari baja. Tahan banting. Bisa saja kita memutuskan mempunyai pola sendiri dalam menjalani kehidupan ini, dan berkumpul dengan orang-orang yang sepemahaman dan pelan-pelan membentuk diri, kemudian disibuki dengan keinginan menolong orang lain agar mempunyai tujuan hidup yang jelas. Mempunyai orientasi bagaimana agar seluruh sel di tubuh ini dapat memberi kontribusi kebaikan bagi kehidupan orang lain. Susah memang. Karena secara materi memang kita tidak banyak memiliki. Tetapi dengan segala keterbatasan ini, siapa yang dapat memahami kepuasan yang tanpa batas, seperti mencipta taman indah di dalam hati dan taman itu terus mengikuti kemanapun kita pergi?
Kalau memang kita sanggup professional dalam bekerja, bersungguh-sungguh dan bersedia menjadi agen perubah, tidak terbatas pada retorika semu. Ketagihan dengan perbaikan dan haus dengan ilmu, tentu anak-anak juga melihat manusia jenis apa orangtuanya. Sehingga kurikulum di sekolah memang ada pada manusia konkrit yang dapat dilihat dengan mata dan disentuh oleh tangan .Wallahua’lam.
Selasa, 03 Februari 2009
Ibu, kenapa mereka dipenjara?
Posted by susi at Selasa, Februari 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar