BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Hari Tua Sebagai Anugerah

Di dunia debu ini, berapa lamakah kita akan melumuri pakaian kita dengan
kotoran, batu-batu, dan tanah, sebagaimana seorang bocah?
Mari kita tinggalkan debu dan terbang ke langit, melepaskan diri dari kekanak-
kanakan menuju kematangan. (Jalaludin Rumi)

”Kenapa ya Pak, bertambahnya ilmu tidak menambah ketentraman?” tanya seorang ibu pada nara sumber sewaktu break dalam satu acara training . Belum sempat bapak itu menjawab, dia sudah menambahkan, ”Rasa-rasanya saya sudah belajar ilmu spiritual, emosional, kepemimpinan, sudah sekolah formal sampai S3 dan sebagainya. Belum lagi pelatihan-pelatihan”. Bapak itu berkomentar ringan sambil menghirup kopi panas ”Sebenarnya bu, rasa nelangsa, kecewa, sedih, senang hanyalah giliran perasaan yang memang harus dilalui. Anggaplah jenis-jenis perasaan tadi sedang menunggu gilirannya untuk masuk ke dalam relung perasaan kita melalui jalan yang kita sebut dengan peristiwa”. Ibu tadi terkesima, mencoba mencerna. Bapak tadi kembali melanjutkan. ”mungkin kata ridha, kata yang tidak bisa diterjemahkan. Tapi ridha akan membuat hati kita menerima giliran peristiwa kehidupan sebagai episode yang memang sedang menunggu waktu dia akan hadir. Semua perasaan tadi datang silih berganti sebagai tamu-tamu jiwa pada setiap manusia bernyawa”. Kadang ungkapan bagai seorang sufi memang membuat damai. Sementara di sisi lain tantangan yang besar menyuruh kita berjuang, tegar, bekerja ’all out’, mampu adaptasi, menghadapi dinamika dsb. Sebuah prinsip bila kita lemah maka akan tereliminir oleh kehidupan tetap berlaku. Ntah bagaimana membuat perjuangan dan ridha itu seimbang.
Kemarin ada cerita yang saya dengar bahwa bekas guru kebidanan saya yang telah pensiun, setiap shalat wajib dilakukannya di masjid. Anaknya laki-laki. Hanya satu. Sudah tamat dari Amerika dan sudah berkeluarga pula. Dia tidak menulis buku sewaktu menjadi dosen. Hanya dosen. Dokter kandungan. Tidak ada jenjang karir menjadi profesor seperti teman-teman seangkatannya. Tiggal di rumah dinas yang sudah tua. Tidak direnovasi. Hanya dicat. Mungkin secara fitrah, dosen tadi tak memerlukan tantangan besar. Tak memerlukan proyek untuk tambahan. Tak memerlukan gelar pahlawan. Merasa nyaman dengan dirinya. Menikmati waktu. Menghayati menjadi tua sebagai anugerah. Tanpa dihujat dan dimaki orang lain, atau sangsi masuk penjara seperti mantan pejabat.
Tetapi ada satu pofesor dosen S2 saya yang berusia 70 tahun masih tetap fit. Anak-anak juga sudah berkeluaga semua. Dosen terbang di beberapa universitas di Jakarta, penulis dan konsultan pendidikan di harian Kompas, memiliki Sekolah di kampungnya di Balige, menulis buku dan segudang aktivitas lain. Melihat cara berbicara, kerapihan membimbing tesis, komitmen dengan waktu . Juga tak luput ungkapan-ungkapan ’tidak merasa besar diri’ selama memberi kuliah ditambah keusilan saya memperhatikan waktu dia menjaga shalat karena dia seharian bersama kami. Saya juga melihat waktu kuliah yang tidak disingkat-singkat karena dia ingin membawa uang pulang sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, walaupun kami yang lebih muda sudah kelelahan kuliah dari pagi. Dia memang bukan malaikat. Tapi dari pancaran wajahnya, dia telah menemukan keseimbangan, profesional dan sesuai bicara dengan perbuatan. Saya sangat suka dengan figur-figur langka seperti ini. Minimal ,untuk jadi model konkrit. Tentu kita terseok-seok untuk dapat mengikuti langkahnya.
Saya tidak tahu mana diantara kedua figur tadi yang ideal. Karena memang bukan hak kita menghakimi. Tetapi dua-duanya telah berbuat banyak. Telah mendidik anak-anak bangsa. Mungkin yang satu sebatas usia produktif. Mungkin selama menjadi dosen aktif dia memang bekerja sungguh-sungguh walau tanpa karya buku dan membuat sekolah atau membangun pesantren. Tetapi mereka sama-sama menemukan ketenangan yang sangat mahal itu pada hari tuanya. Sang profesor juga menikmati hari-harinya yang diisi dengan mengajar, terbang dari satu kota ke kota lain menyebarkan ilmu. Kesamaan keduanya mungkin ada pada penguasaan diri, menjalankan amanah dan tinggal menikmati hari tua tanpa dikejar-kejar rasa cemas. Damai, tenang, nyaman, menang. Wallahu’alam.

0 comments: