“Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya,
maka nasihatnya akan lenyap dari hati orang yang mendengarnya,
sebagaimana hilangnya setetes embun di atas batu yang halus”
(Malik bin Dinar)
Hasrat bertutur atau syahwatun kalam seperti suatu fitrah yang sering menghampiri manusia terutama mereka yang mempunyai profesi bertemu dengan orang banyak. Bisa jadi ia seorang guru, dosen, instruktur pelatih, pimpinan perusahaan atau pejabat. Menjadi sangat berarti jika ucapan kita, kata demi kata akan menjadi nilai atau suatu hal yang diikuti oleh mereka. Seringkali, kita ingin tetap menjaga kharisma, tetapi tidak diikuti oleh perbuatan. Atau bahkan rangkaian kata yang kita sampaikan tidak mempunyai makna karena memang ilmu yang disampaikan adalah sisa ingatan masa lalu yang tidak pernah di upgrade atau diperbaharui. Akibatnya seringkali suatu hal baru bersifat sangat tehnis.
Baru-baru ini anak saya mengikuti acara camping di sekolah Al Ittihad. Saya suka dengan surat yang ditujukan ke orangtua karena dicantumkan tujuan camping adalah melatih kemandirian anak. Sewaktu berdialog dengan anak, untuk memotivasi, saya kembangkan tujuan lain dari camping, yaitu kegiatan hikingnya untuk kecerdasan fisik dan kecerdasan natural memperhatikan ciptaan Allah secara real dan menginap di dalam tenda bersama teman, saling berbagi tugas dan makanan akan melatih kecerdasan sosial, juga acara shalat tahajud bersama akan ada proses pembiasan dalam mengasah kecerdasan spiritualnya. Dia tersenyum senang membayangkan serunya acara nanti, . Saya melepaskan si sulung dengan hati yang lapang dan doa yang tulus “Ya Allah, mudahkanlah urusannya”.
Banyak kegiatan baru atau aturan baru yang akan kita berlakukan, baik pada anak-anak, karyawan atau masyarakat bisa dikembangkan dan dikomunikasikan dengan bijak. Intinya, diperlukan ketulusan dan daya analisa yang sangat tinggi. Sekali lagi, suatu ketidak tulusan akan menghilangkan makna sebagaimana hilangnya setetes embun di atas batu yang halus. Kalau saja kita terus menerus mau memperluas cakrawala berfikir, mengasah gergaji empati dan menjalin hubungan yang erat dengan sang Pencipta, rasanya tidak ada yang sulit selagi orientasinya bukan pada kesenangan diri lalu melakukan pembenaran disana-sini dan memaksa dengan kasar orang-orang yang kita kuasai untuk menerima mentah-mentah nilai atau aturan yang kita paksakan pada mereka yang jelas-jelas merasa muak tapi takut untuk menolak.
Anak-anak kita yang akan menjalankan bangsa ini terus menyaksikan cara berfikir, cara bekerja , cara bertutur, dan cara membuat keputusan hari demi hari, jam demi jam, bahkan detik demi detik. Pewaris jenis apakah kita sekarang ini?Wallahu’alam.
Selasa, 03 Februari 2009
Bertutur Penuh Makna
Posted by susi at Selasa, Februari 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar