BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Child Abuse

Karena kematian belum menghampiriku
Sedikit yang kuperbuat untuk menghadapinya
Padahal ketika itu keputusasaan pun tak ada gunanya

Karena manusia bisa beralasan
Beribu ‘karena’ terucap dan dipersiapkan
Padahal kelak itu pun tak bisa dijadikan alasan
Percikan Iman

Seorang anak bernama Khodijah bunuh diri, berusia 12 tahun kelas 5 SD. Jalan bunuh dirinya dengan membakar diri. Dalam perjalanan menuju Rumah Sakit ia mengatakan sedih karena sering dimarahi orangtuanya dan merasa dibenci, tidak disayang dibanding saudara-saudaranya. Anak tersebut akhirnya meninggal di rumah sakit.
“Merasa dibenci, tidak disayang dibanding saudara-saudaranya”. Hal ini menjadi pendorong Khodijah melakukan bunuh diri. Walaupun sebagai pencetusnya adalah kemarahan dan omelan ibunya yang tidak jelas apa penyebabnya. Beberapa kasus bunuh diri pada anak tentulah puncak keputusasaan untuk keluar dari masalah secara praktis. Anak juga dapat mengalami stress. Kemampuan menahan stress pada anak tentu tidak sama dengan orangtua. Masalah yang dihadapi orangtua dalam urusan mencari nafkah diluar sana membuat dia berhak memaksa seisi rumah untuk memahami persoalannya. Terutama pada keluarga tidak mampu seperti ibu Khodijah yang tukang petik bawang merah.
Kejadian bunuh diri pada anak yang akhir-akhir ini mulai marak terjadi mungkin dapat dijadikan cermin. Gaya ‘berkuasa’ kita tehadap anak mungkin perlu dicermati. Apakah dalam mewujudkan ambisi terhadap anak dengan menyuruh mereka les macam-macam tanpa jeda waktu untuk menikmati masa bermain. Atau menyuarakan rangking terlalu keras. Sehingga setiap bertemu tidak sempat menyapa, “Assalamualaikum sayang, hari ini perasaannya senang kan?”. Tapi yang selalu kita katakan, “Sudah belajar? Belajar?”. Istilah child abuse atau kekerasan pada anak yang sering kita dengar bukan berarti harus keras secara fisik dengan memukul. Perlakuan kasar dengan kata-kata, menyakiti perasaan mereka, menghilangkan kasih sayang dengan perceraian, semuanya bisa membuat luka perasaan anak-anak. Sebagaimana luka pada fisik yang meninggalkan parut atau scar, demikian pula dengan jiwa. Anak yang telah mengalami luka pada jiwanya, tentu tidak sama tumbuh kembang dengan anak-anak yang diperlakukan dengan baik oleh orangtuanya. Selalu timbul masalah kriminal atau kelainan kepribadian.
Sekarang yang menjadi masalah adalah apa yang menjadi batasan mengajarkan disiplin dengan tindakan kekerasan pada anak? Dalam agama Islam, seorang anak diajarkan pembiasaan shalat sejak usia dini dan ikut-ikutan sewaktu melihat ayah dan ibunya shalat. Kemudian usia 7 tahun anak sudah diharapkan tidak lagi meninggalkan shalat. Berarti sebelum usia 7 tahun, anak telah diajarkan seluruh tertib wudhu, syarat sahnya shalat dan bacaan shalat. Lalu tiga tahun kemudian atau setelah anak berusia 10 tahun, jika dia tidak juga shalat, hadist mengatakan kita boleh memukulnya tetapi tidak pada bagian muka. Dari sini dapat kita saksikan bagaimana sosialisasi, pembiasaan, mengajarkan, kembali pembiasaan kemudian baru ada kesepakatan sanksi. Sanksi yang akan berlakupun disosialisasikan ke anak bahwa jika tidak shalat maka dengan sangat terpaksa kita akan memukulnya pada bagian kaki. Tidak membenci dirinya tetapi benar-benar hanya membenci perbuatannya. Anak akan merasa aman pada saat dia tidak dihujat tetapi dibimbing. Karena mereka dititipkan ke kita oleh Allah untuk dididik bukan untuk dianiaya karena kita begitu berjasa telah menghidupinya. Wallahu’alam.

0 comments: