BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Karnaval demi karnaval

Kita tak bisa mengajari orang apa pun;
kita hanya bisa membantu mereka
menemukannya di dalam diri mereka sendiri
(Galileo Galilei)

Dalam satu tahun terakhir, ada beberapa episode yang menyita perhatian besar masyarakat kita. Kasus demi kasus. Mulai busung lapar. Lalu kasus flu burung yang membuat semua orang sangat takut dengan ayam dan telur. Kemudian kasus demam berdarah. Disusul dengan kekerasan terhadap anak yang tetap berlangsung. Dilanjutkan lagi dengan keegoisan oknum yang menjadikan formalin sebagai bahan pengawet pada sumber protein. Terakhir ide gila menerbitkan majalah Play Boy versi Indonesia. Lalu ntah apa lagi. Semua orang menyikapinya dengan berbagai reaksi. Ada yang reaktif, ada pula yang apatis. Memaki pelaku, mengecam. Membuat seminar. Ibu-ibu rumah tangga membuat langkah siaga. Tidak tau lagi apa yang mau dimakan. Semua merasa terancam. Tidak tau harus bagaimana. Padahal belum habis terkejut dengan lonjakan dahsyat kenaikan BBM, baru mau manata diri untuk adaptasi.
Kapan waktunya kita bisa tenang berfikir, mencari solusi, jika hanya disajikan dengan episode-episode yang membahayakan jiwa. Seolah-olah emosi kita terbuat dari baja. Dibantai oleh badai-badai peristiwa. Tanpa ada solusi yang jelas, sebuah penyelesaian. Seperti menyaksikan sebuah parade. Mengagumkan sesaat. Kemudian berlalu. Semua orang kembali makan ayam dengan lahap. Parade peristiwa yang dihebohkan oleh media perlahan berlalu. Hanya seperti itu saja. Kering makna. Bahkan kematian seorang anak akibat kekerasan orangtuanya sendiri tidak lagi menggugah. Kita berlindung pada setiap kematian sebagai ajal yang sudah harus diterima, apapun penyebabnya. Tidak pernah menjadi cermin.
Tingkat pendidikan masyarakat yang mayoritas rendah mengakibatkan kurangnya daya analisa. Hidup hanya untuk hari ini. Kalau mau ‘survive’, sebagaimana dikatakan Darwin, kita memang harus bertahan. Spesies yang lemah akan punah. Akibat seleksi alam. Kalau sebagai professional, kita memang masih bisa bertahan dan tidak perlu makan tiwul, tetapi ntah bagaimana nasib saudara yang jauh di Jawa Timur. Padahal, kita menahan diri untuk tidak banyak menkonsumsi nasi agar tetap fit dan tidak kelebihan berat badan. Sementara saudara kita memang karena tidak ada nasi yang mau dimakan. Kalau mau kasar perasaan dan menutup kuping, kita bisa saja menganggap seluruh peristiwa setahun terakhir hanyalah karnaval yang numpang lewat di salah satu ruang perasaan. Kemudian kita kembali beraktivitas seperti tidak ada yang terjadi. Perasaan kita dingin, tak peduli.
Dalam satu kesempatan di Roma, saya diingatkan berkali-kali untuk berhati-hati dengan pickpocket atau copet. Setelah saya tanyakan, berapa kasus dalam bulan ini kejadian copet. Ternyata bisa dihitung dengan jari. Tetapi bagi mereka, sudah merupakan peristiwa besar. Sensitivitas orang lain lebih tinggi, mungkin karena mereka jarang melihat peristiwa dahsyat seperti di negara kita yang tak pernah henti dengan peristiwa spektakuler menyedihkan. Namun hanya bagai karnaval sesaat. Walahua’lam.

0 comments: