BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Anak Juga Akan Menjadi Orangtua

Kadang-kadang kita melihat segala
sesuatunya bukan sebagaimana adanya
melainkan sebagaimana kita inginkan

Sewaktu membuka kalender hari ke 12 di bulan Februari, saya tertegun membaca kata-kata di sana. “Anak kita bukan sekedar anak kita, mereka akan menjadi suami dan istri orang lain dan menjadi orangtua dari cucu kita.” (Mary S. Calderone, seorang tokoh perempuan AS) . Saya sering mendengar keluhan teman perempuan yang baru menikah, bagaimana dia kesal dengan mertua karena selalu menjadi pengkritik ulung terhadap masakannya. Malahan sering mengantar masakan kesukaan suami sambil menekankan bahwa inilah contoh ideal masakan kesukaan anaknya. Ada juga keluhan teman laki-laki yang juga sering dikomentari mertuanya, “Dari kecil istri kamu itu biasa hidup senang, maklumlah diakan anak perempuan satu-satunya”. Teman tadi menanyakan apakah maksud omongan mertua itu bahwa dia tidak mau standar hidup anaknya turun? ”Mana mungkin gaji aku langsung puluhan juta, kan baru 2 tahun kerja, “katanya kesal.

Tanpa disadari, anak-anak yang kebetulan keluar dari rahim kita itu secara fitrah membuat kita sangat luar biasa menyayanginya, dan sering membuat kita keluar dari garis atau batas yang wajar. Anak usia balita tentu berbeda diperlakukan dengan anak yang sudah duduk di kelas 4 SD, apalagi kalau sudah mulai remaja. Kalau mau pukul rata, karena kebetulan merasa sudah menanam investasi besar-besaran sejak dalam kandungan sampai sekarang. Boleh-boleh saja. Tapi bersiaplah untuk memiliki hubungan yang jauh dari harmonis dengan anak sampai ia dewasa. Misalnya dari kasus di atas, orangtua sering lupa bahwa status tukang masak anak sudah diambil alih oleh istrinya. Kalau mau jujur, waktu baru menikah dulu, masakan ibu tadi belumlah seenak sekarang. Ya, tidak levellah masakan menantu yang lebih muda 25 tahun itu. Jam terbang masaknya kan masih rendah. Lagipula biarlah anak-anak kita menjalani secara alamiah proses pendewasaan perkawinannya. Tentu sangat tidak nyaman, kalau kedatangan kita ke rumah anak atau kunjungan mereka ke rumah kita, jauh-jauh hari mereka mempersiapkan stok kesabaran yang berlipat ganda agar tidak tersinggung dengan seluruh perkataan kita yang bersikap ‘si tahu segalanya’ atau maha tahu.

Mempersiapkan anak akan menjadi orangtua, lebih nyaman jika mereka melihat langsung model ayah dan ibunya. Kalau anak-anak usia TK paling sering bermain peran menjadi ibu atau ayah, kita perlu nguping sekali-sekali dialog mereka. Hampir 95 % dialog itu adalah yang paling sering dibicarakan oleh ibunya. Saya pernah melihat anak yang masih TK, memakai baju saya, kedodoran sampai ke lantai, membawa tas dan sepatu saya sambil memegang handpone jalan-jalan keliling ruangan. Saya dengar dia bicara, ‘jangan lupa dicatat , dicatat, dicatat’. Saya cepat-cepat menjauhi ruangan itu untuk ketawa. Kata-kata itu kebetulan yang paling sering saya ucapkan pada karyawan agar mereka tidak lupa dengan agenda masing-masing. Pernah juga saya mendengar kakaknya bermain ‘maaf ya yah, nggak bisa nunggu makan malam, sudah keburu lapar. Ada operasi malam ini?’ itu juga kata-kata saya ke ayahnya kalau terlambat pulang praktek. Kalau kelak kita akan menjadi modelnya jika mereka berumahtangga , berarti cara dia memperlakukan anak-anak, suami atau istrinya, sesuai dengan model yang didapatnya dari orangtua. Bukankah kita ingin menjadi model orangtua yang terbaik bagi anak-anak, bagaimana kalau mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil dan mulai dari dirisendiri seperti kata Aa Gym. Wallahua’lam

0 comments: