Kuingin Ghadeh melihatku bak sebatang lilin-lemah-kecil
Yang menyala dalam gelap hingga akhir hayatnya,
Dan dia beroleh manfaat dari cahayanya untuk masa nan singkat.
Kuingin dia merasakanku bak angin surgawi yang berembus dari langit
Yang membisikkan kata-kata cinta dan terbang menuju kata tanpa batas…
Musthafa Chamra
Tuhan, aku berdoa sebelum aku dibius, kalau Engkau membolehkan aku hidup untuk melihat anak-anakku tumbuh, aku tak akan menyia-nyiakan semenitpun…” Itu adalah doa di meja operasi seorang ibu berusia 39 tahun bernama Bev Shortt yang menderita sakit jantung kronis. Mempunyai anak remaja 3 orang. Saya juga pernah berdoa sewaktu di meja operasi sebelum dibius, sewaktu akan dilakukan sectio caesaria, melahirkan anak kedua. Bukan takut pada kematian. Tapi merasa belum siap. Terutama membayangkan anak pertama yang berusia 3 tahun. Siapa yang akan menjaga dan mendengarkan kalau ia bercerita dan siapa yang memberikan cinta serta menemani dia bertumbuh. Banyak janji dalam hati diucapkan seakan Tuhan bisa diiming-imingi dengan kebaikan-kebaikan yang akan kita lakukan jika diberikan waktu untuk sebuah kehidupan. Waktu akan sangat berarti jika dia sempit dan terbatas.
Dalam sebuah pelatihan spiritual, peserta diminta untuk membayangkan sedang berada di dalam peti mati setelah dikafani. Pada upacara penguburan, ada beberapa kata sambutan dan salah satunya adalah dari anak yang pernah kita lahirkan. Kalimat apa yang paling kita inginkan untuk didengar? Salah satu peserta berkata “Saya ingin anak saya mengucapkan ‘Mama kami adalah yang terbaik”. Tentu saja untuk mendapatkan suatu komentar tulus yang keluar dari hati, pastilah ada yang kita tanam. Harus disiram dengan cinta dan ilmu, barulah kita akan menuai manusia yang cerdas dan jernih.
Beberapa minggu yang lalu, salah satu teman kami, seorang dokter wanita meninggal di usia 43 tahun di Kerinci. Akibat terhirup karbon monoksida. Suaminya yang juga seorang dokter kandungan hanya bisa termangu-mangu tak percaya. Tragis. Kami sebagai teman sejawat juga tidak menyangka. Apalagi jenazah dimandikan dan dikafani di masjid yang terbuka. Hanya seperti ini akhir sebuah kehidupan. Perasaan melihat peristiwa itu hampir sama sewaktu berada di Banda aceh, 5 hari setelah Tsunami. Melihat tumpukan jenazah yang akan dikuburkan massal. Saya baru ingat Jalaludin Rumi bertutur “Orang yang arif, pada saat terjadi malapetaka akan berjaga-jaga, untuk menghindari, kematian teman-teman menjadi peringatan. Tak peduli engkau suci atau tidak, hendaknya jangan lari! Justru mendekatlah, karena kedekatan denganNya menambah kesucian”.
Mungkin kita masih diberi kesempatan menghirup oksigen, mencium wangi bunga dan menikmati pagi. Waktu yang tersisa dan masih ada, semoga tetap menjadi sinar untuk anak-anak dan keluarga sebagaimana Bev Shortt yang diberikan waktu 6 tahun oleh dokter setelah operasi jantung. Bagi Bev sejak saat itu setiap pagi adalah anugerah. Dia menghayati setiap detik 6 tahun itu memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintai. Dia bertutur “Aku tahu suatu hari akan tiba saat matahari akan terbit tanpa diriku. Tapi Tuhan telah memberi lebih dari yang kuminta. Dan aku sudah belajar betapa berharganya saat itu.” Semoga kita, walaupun hanya sebatang lilin-lemah-kecil, dan sinar yang redup, tetap mampu menunjukkan beda gelap dan terang. Wallahu’alam.
Yang menyala dalam gelap hingga akhir hayatnya,
Dan dia beroleh manfaat dari cahayanya untuk masa nan singkat.
Kuingin dia merasakanku bak angin surgawi yang berembus dari langit
Yang membisikkan kata-kata cinta dan terbang menuju kata tanpa batas…
Musthafa Chamra
Tuhan, aku berdoa sebelum aku dibius, kalau Engkau membolehkan aku hidup untuk melihat anak-anakku tumbuh, aku tak akan menyia-nyiakan semenitpun…” Itu adalah doa di meja operasi seorang ibu berusia 39 tahun bernama Bev Shortt yang menderita sakit jantung kronis. Mempunyai anak remaja 3 orang. Saya juga pernah berdoa sewaktu di meja operasi sebelum dibius, sewaktu akan dilakukan sectio caesaria, melahirkan anak kedua. Bukan takut pada kematian. Tapi merasa belum siap. Terutama membayangkan anak pertama yang berusia 3 tahun. Siapa yang akan menjaga dan mendengarkan kalau ia bercerita dan siapa yang memberikan cinta serta menemani dia bertumbuh. Banyak janji dalam hati diucapkan seakan Tuhan bisa diiming-imingi dengan kebaikan-kebaikan yang akan kita lakukan jika diberikan waktu untuk sebuah kehidupan. Waktu akan sangat berarti jika dia sempit dan terbatas.
Dalam sebuah pelatihan spiritual, peserta diminta untuk membayangkan sedang berada di dalam peti mati setelah dikafani. Pada upacara penguburan, ada beberapa kata sambutan dan salah satunya adalah dari anak yang pernah kita lahirkan. Kalimat apa yang paling kita inginkan untuk didengar? Salah satu peserta berkata “Saya ingin anak saya mengucapkan ‘Mama kami adalah yang terbaik”. Tentu saja untuk mendapatkan suatu komentar tulus yang keluar dari hati, pastilah ada yang kita tanam. Harus disiram dengan cinta dan ilmu, barulah kita akan menuai manusia yang cerdas dan jernih.
Beberapa minggu yang lalu, salah satu teman kami, seorang dokter wanita meninggal di usia 43 tahun di Kerinci. Akibat terhirup karbon monoksida. Suaminya yang juga seorang dokter kandungan hanya bisa termangu-mangu tak percaya. Tragis. Kami sebagai teman sejawat juga tidak menyangka. Apalagi jenazah dimandikan dan dikafani di masjid yang terbuka. Hanya seperti ini akhir sebuah kehidupan. Perasaan melihat peristiwa itu hampir sama sewaktu berada di Banda aceh, 5 hari setelah Tsunami. Melihat tumpukan jenazah yang akan dikuburkan massal. Saya baru ingat Jalaludin Rumi bertutur “Orang yang arif, pada saat terjadi malapetaka akan berjaga-jaga, untuk menghindari, kematian teman-teman menjadi peringatan. Tak peduli engkau suci atau tidak, hendaknya jangan lari! Justru mendekatlah, karena kedekatan denganNya menambah kesucian”.
Mungkin kita masih diberi kesempatan menghirup oksigen, mencium wangi bunga dan menikmati pagi. Waktu yang tersisa dan masih ada, semoga tetap menjadi sinar untuk anak-anak dan keluarga sebagaimana Bev Shortt yang diberikan waktu 6 tahun oleh dokter setelah operasi jantung. Bagi Bev sejak saat itu setiap pagi adalah anugerah. Dia menghayati setiap detik 6 tahun itu memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintai. Dia bertutur “Aku tahu suatu hari akan tiba saat matahari akan terbit tanpa diriku. Tapi Tuhan telah memberi lebih dari yang kuminta. Dan aku sudah belajar betapa berharganya saat itu.” Semoga kita, walaupun hanya sebatang lilin-lemah-kecil, dan sinar yang redup, tetap mampu menunjukkan beda gelap dan terang. Wallahu’alam.
0 comments:
Posting Komentar