BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

‘Menjinakkan’ Hati Anak

Buku The Litle Prince atau Le Petit Prince adalah kisah klasik yang memiliki pesona yang tak lekang oleh waktu dan daya tarik melampaui batas usia dan kebangsaan sehingga menjadikannya buku berbahasa Prancis yang paling banyak diterjemahkan. Dalam pembicaraan antara Rubah dan Prince, Rubah bertutur “Hidupku sangat datar. Aku memburu ayam-ayam, manusia memburuku. Semua ayam itu sama, semua manusia itu sama. Akibatnya aku agak bosan. Tetapi jika kau menjinakkan aku, hari-hariku akan jadi seperti disinar matahari. Aku akan mengenali bunyi langkah kaki yang berbeda daripada bunyi langkah kaki lainnya. Langkah-langkah kaki lain akan membuatku melarikan diri ke dalam kubangku di tanah. Langkah kakimu akan memanggilku keluar, seperti musik”
Mungkin anda pernah menjemput anak ke sekolah atau sewaktu anda sampai di rumah setelah perjalanan jauh. Kita bisa saksikan bagaimana sinar mata anak-anak kita sangat bercahaya menyambut kita dan siap untuk diberikan pelukan. Seluruh orang yang ada di dekatnya menjadi tidak berarti. Hanya kita saja yang menjadi pusat perhatiannya. Saya juga mengalaminya sangat sering, sehingga kegiatan itu menjadi sangat biasa dan rutin saja. Rasanya setiap anak pasti sangat menyayangi ibunya. Itu adalah suatu proses yang biasa. Saya baru menyadari bahwa memiliki perasaan kasih sayang dan kontak mata yang hangat ternyata suatu hal yang sangat mahal. Pada beberapa waktu yang lalu dalam suatu acara, saya menyaksikan anak seorang teman yang autis, tidak bisa membedakan yang mana diantara kami adalah ibunya. Dia hanya tertegun tanpa ekspresi sampai salah satu dari kami berdiri menghampiri. Teman tadi bercerita bagaimana selama 4 tahun ini hidup bersama seorang anak yang autis, yang bahkan mengatakan buang air besar saja tidak mampu. . “Saya pernah bermimpi dan sangat terobsesi anak saya mampu merasakan bahwa saya sangat menyayanginya, ” kata teman tadi dengan mata berlinang.
Lalu saya teringat sewaktu kuliah dulu dengan salah satu keluarga teman yang dikaruniai emosi yang normal tetapi mirip keluarga penderita autis. Suasana di meja makan selau tegang dan hanya terdengar bunyi sendok. Saya sampai takut mengerakkan badan dan menyenggol sesuatu. Kata teman saya, ayah dan ibunya adalah ilmuwan tulen dan dosen yang sangat serius jadi kalau di rumah kita harus ikut aturan yang sudah tertulis rapi dan ditempelkan di kulkas, ruang makan, ruang keluarga dan kamar tidur. Ayahnya juga sangat hemat kata-kata dan sangat jaim (jaga image). Mereka juga sangat jarang berpelukan dan tertawa. Lalu teman saya tadi juga di kelas termasuk mahasiswa yang cukup ceria. Dalam kedokteran, orang yang sulit berekspresi ini sering diistilahkan afek datar. Istilah ini juga sering kami pakai untuk teman-teman yang cantik atau ganteng tetapi tidak ekspresif sehingga jarang ada mahasiswa lain yang jatuh cinta karena memang membosankan
Kalau anak-anak lebih suka curhat dengan tantenya atau ada figur-figur lain untuk mengekspresikan cintanya mungkin kita perlu mengevaluasi pola pergaulan kita dengan anak-anak. Apakah terlalu datar seperti rubah tadi melihat ayam yang diburunya dan manusia yang memburunya karena kita tidak ‘menjinakkan’ hati anak-anak kita? Wallahu’alam.

0 comments: