BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Belajar dari Senyum Anak

Jika Anda membuat
seseorang bahagia hari ini,
Anda juga membuat dia berbahagia
dua puluh tahun lagi,
saat ia mengenang peristiwa itu
Sydney Smith

“Ibu, main teka teki yuk,” ajak anak saya. “Boleh,” jawab saya sambil membawa mereka ke tempat tidur karena sudah jam 9 malam. “Binatang apa yang paling sering telambat ke sekolah,” tanya saya. Setelah jawaban mereka beberapa kali salah, akhirnya mereka bilang “nyerah”. Saya jawab “Ulat kaki seribu”. “Kenapa?” tanyanya. Karena kakinya seribu jadi pakai sepatunya banyak dan lama. “He…he…” dua gadis kecil saya meriah ketawa. Mereka sibuk membahas kaki mereka yang hanya dua, jadi cepat pakai sepatu.
Seringkali hal-hal sederhana membuat anak bisa tersenyum. Saya pernah juga melihat kreatifitas penerbit mizan pada buku komik anak-anak yang mendidik, judulnya “nggak ngakuin mami”. Saya fikir paling komik biasa. Tapi setahu saya Mizan selalu ada muatan pendidikannya. Ternyata benar. Buku itu cerita tentang Malin Kundang yang durhaka. Buku yang lucu, seru, dan tetap ada nilai. Sesuai dengan maunya anak-anak.
Kita ingin anak-anak sering tersenyum dan bahagia tetapi jarang sekali orangtua mampu kreatif melihat suatu peristiwa dengan mata anak. Mereka bisa menjadikan apa saja sebagai objek mainan. Sedang mandi sekalipun, busa di kepala dijadikan berbagai bentuk telinga kelinci. Setelah melihat cermin, mereka cekikikan lagi. Mungkin karena orangtua sudah terbebani dengan jadwal, daftar pekerjaan, rasa takut, rekening-rekening yang harus dibayar, persoalan yang menggunung sehingga kita lupa membuat ‘jokes’ atau kelucuan-kelucuan segar.
Dalam buku 17 Anugerah yang Terindah untuk Ananda yang ditulis Steven W. Vannoy, saya setuju bahwa kita banyak belajar dari anak. Malahan lebih sering kitalah sebenarnya yang lebih membutuhkan mereka. Saya menyangka, tugas saya sebagai orangtua tak lebih dari “memperbaiki” segala sesuatu; menyelesaikan masalah yang dihadapi anak-anak saya atau masalah yang mereka ciptakan, untuk menjaga agar mereka tidak mengganggu saya dan tetap terkendali. Selalu bentuk komunikasi kita berupa instruksi, dan berkuasa.
Mungkin anda perlu mengikuti sewaktu anak-anak bermain drama. Pada saat kita stres, bagaimana anda menjawab bila ada seorang gadis kecil 6 tahun bergaya seperti mbok jamu dan menawarkan “Bu, jamunya mau rasa apa? Ada vanilla, coklat dan strawberry,” sambil menurunkan gendongan botol-botol plastiknya. Pasti kita berusaha menjawab sesuai pilihan yang diberikan walaupun tidak ada jamu rasa strawberry. Kalau anda lihat senyum lebar menunjukkan deretan gigi ompong, apakah kita masih bisa stres? Ternyata anak-anak adalah obat anti stres yang paling ampuh dibandingkan obat apapun di dunia.
Kalau anak-anak lebih mudah tersenyum, memandang dunia ini dengan kaca mata yang lebih sederhana, kenapa tidak kita coba? Bukankah Life is beautiful? Wallahua’lam.

0 comments: