Masih ingat dengan pribahasa ‘ Anda selalu menuai apa yang anda tabur ?’ begitu juga dengan karakter anak-anak kita. Mulai dari memilih pasangan seperti apa yang akan kita nikahi, yang akan menjadi ayah atau ibu anak-anak kita. Kita seperti sedang memilih warna-warna kehidupan yang akan mewarnai sang anak. Lalu 20 tahun yang akan datang warna itu akan semakin jelas kelihatan, sesuai dengan warna yang kita pilih 20 tahun yang lalu. Ada slah satu komentar seorang Ayah ‘Putera saya yang masih remaja suka memberontak dan menggunakan obat bius. Apapun yang saya coba lakukan, ia tidak mau mendengar. Apa yang dapat saya lakukan ?’ mungkin Bapak tadi perlu kilas balik, sewaktu memilih pasangan hidupnya wanita seperti apa ? Bukankah salah satu hak anak adalah memiliki ibu yang baik ?
Beberapa kali saya mendengar dari teman-teman yang suaminya baru saja jadi epjabat kecil-kecilan, diwajibkan mengikuti etika kepribadain di Jakarta. Tentu saja pakai dana APBD. Merekapun pergi berombongan. Memang Etika KEpribadian dapat menggunakan tehnik mudah dan cepat, yang mungkin dapat berhasil dalam jangka pendek. Semua yang diperbaiki seputaran etika luar-luarnya saja. Bisa kita bayangkan, ibu-ibu yang sudah dia atas kepala empat itu memfokuskan pada teknik bersikap intelek dengan belajar sebanyak mungkin secara tergesa-gesa dalam waktu singkat. Kita memang dapat menggunakan Etika Kepribadain untuk lulus dan membuat kesan yang baik, melalui pesona dan keahlian serta berpura-pura tertarik pada pembicaraan orang lain. Akan tetpai etika Kepribadian tidak akan pernah mempunyai manfaat permanen dalam hubungan jangka panjang. Pada hakikatnya, siapa kita apa adanya berkomunikasi jauh lebih fasih dibandingkan apapun yang kita katakana atau kerjakan. Saya sering kasihan kalau mendengar komentar ibu-ibu pejabat yang sedang membahas suatu permasalahan sering tidak jelas juntrungannya agar terkesan pandai oleh audiens padahal professional yang dengar sering pening. Bagaimanpun mereka memperbaiki cara duduknya, lapisan bedaknya, sangat terlihat tegang seperti memakai topeng. Tetapi ini memang khas tipikal ibu-ibu pejabat daerah yang baru saja dapat rejeki nomplok dari sistem otonomi daerah dengan DAU yang sangat besar. Seperti dapat lotre, bingung bagaimana mengalokasikan uang dan bagaimana harus bersikap karena keterbatasan pengetahuan.
Kembali ke persoalan anak-anak kita tersayang pewaris bangsa 20 tahun yang akan datang, kalau kita hubungkan dengan kisah ibu pejabat tadi, bahwa karakter anak dibentuk hari demi hari. Seperti sebuah rajutan, tidak ada yang instan. Dibentuk petlahan sehingga anak memiliki kekuatan karakter yang mendasar dari segi intelektual dan akhlak. Harga harus dibayar dan proses harus diikuti. Anda selalu menuai apa yang anda tabur, tidak ada jalan pintas. Pengakuan sosial akan bakat anak kita, harus diikuti dengan kebesaran atau kebaikan primer di dalam karakter mereka. Dalam kata-kata William George Jordan, “Ke dalam tangan setiap indivisu diberikan kekuasaan yang mengangumkan untuk berbuat baik atau jahat – pengaruh yang diam, tidak disadari, tidak terlihat dari kehidupaannya. Ini benar-benar merupakan pancaran konstan dari siapa orang itu sebenarnya, bukan sosok pura-pura yang ia perankan, “ Wallahu’alam”.
Rabu, 11 Februari 2009
KARAKTER TIDAK DIBENTUK SECARA INSTANT
Posted by susi at Rabu, Februari 11, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar