BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 03 Februari 2009

Memiliki Kelenturan Hati

Presiden Amerika John Adams pada tahun 1738-1826 pernah mengatakan ‘ada dua jenis pendidikan.Yang pertama mengajarkan kita bagaimana untuk hidup. Yang lain mengajarkan bagaimana cara hidup’. Mengajarkan kedua-duanya tetap memerlukan seni tersendiri. Pada waktu kita mengajarkan bagaimana untuk hidup seringkali terjebak dalam program S1 dan S2. Lalu kita terkejut, karena setelah anak-anak menyandang gelar tersebut masih saja setiap bulan anda mensubsidi agar anak-anak tetap dapat hidup. Lalu apakah indikator keberhasilan orangtua dalam mendidik bagaimana untuk hidup? Jawabannya bisa saja , setelah tamat kuliah bahkan jauh-jauh hari sebelum kuliah, anak-anak telah dapat mandiri dalam hal finansial. Tidak lagi menjadi benalu. Lalu adakah indikator lain? Mungkin jawabannya kalau anak diberi suatu amanah tertentu dia masih punya kontrol atau kendali. Karena kesenangan tanpa batas pada materi dapat membuat anak overacting dalam merealisasi kecintaannya pada harta benda.
Pengalaman saya dalam mengelola pendidikan usia dini , anak-anak kecil itu terlihat masih seperti playdough atau sesuatu yang masih dapat dibentuk, masih lentur. Orangtua hanya tinggal mengisi dengan nilai-nilai yang baik dan benar. Mengarahkannya menjadi manusia tangguh. Menciptakan hati elang di dalam tubuh merpati yang lembut. Lalu sewaktu menghadapi anak usia mahasiswa, yang tentu saja masih berstatus anak, jelas terlihat perilaku yang sudah terbentuk. Minat belajarnya, etika, pandangan-pandangannya, semua sudah terlihat dengan jelas. Kalau sedang berada di kampus , saya perhatikan mahasiswa-mahasiswa tersebut sambil bergumam dalam hati,’setelah 12 tahun di didik di bangku sekolah dan di rumah, playdough tadi sekarang sudah mengeras dan menjadi sesuatu’. Kalau kita arahkan mengenai etika mereka yang nampaknya tidak pantas, kelihatan matanya tidak senang, tidak nyaman. Ngerinya kalau anak-anak didik usia dini saya akan menjadi keras seperti itu. Antara usia dini dan mahasiswa memang terpaut jauh, belasan tahun. Tetapi satu hal yang menjadi catatan, rentang usia itu kita berperan sangat besar membentuk manusia yang seperti apa. Harapan kita tentu saja sampai dia usia tua, hatinya tetap bersifat lentur, mudah diingatkan setiap terjadi deviasi atau penyimpangan. Pada saat dia merasa benar atau pembenaran terhadap sesuatu hal yang sebenarnya tidak benar, dan ditegur atas ketidakbenaran tersebut, maka dia akan menjawab,”Kalau begitu saya minta maaf, ibu. Saya telah belajar banyak dari kesalahan ini. Saya memang khilaf.”
Kalau saja setiap orang dewasa atau para orangtua mempunyai perasaan yang juga lentur untuk menyadari kesalahan, terus menerus melakukan perbaikan, mungkin anak-anak juga akan ikut lentur untuk bersedia diluruskan setiap terjadi deviasi. Apalagi kecenderungan deviasi ini kerap terjadi pada setiap mahasiswa. Kalau anak bersikukuh setiap peristiwa negatif yang terjadi karena kesalahan orang lain, kesalahan pada fasilitas, kesalahan pada keadaan, semua kesalahan karena hal-hal di luar dirinya, dan bertahan bahwa dirinya paling benar, maka manusia tanpa kelenturan ini akan membuat dia mengalami kesulitan berproses menuju yang lebih baik. Disamping kawan-kawannya juga akan merasa muak ataupun saat dia berkesempatan berkuasa maka dia akan sangat otoriter. Semua dibeli dengan uang. Termasuk membeli simpati.Wallahu’alam.

0 comments: