BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 11 Februari 2009

ZONA TIDAK NYAMAN

Seorang anak manusia terdampar
Ditengah hamparan permata
Diantara deretan gelar dunia
“Wahai dunia, kau telah kutaklukan, namun mengapa ?
Mengapa kau tidak mampu memberi makna
Hingga tak dapat kubedakan
Hidup atau matikah aku………
( Percikan Iman )

Beberapa minggu terakhir ini, sebagai pengelola pendidikan, kami sangat sibuk menyiapkan penerimaan mahasiswa baru. Seluruh koleksi buku-buku pengembangan diri dikumpulkan untuk dibahas sebagai materi yang akan disampaikan selama orientasi mahasiswa baru. Untuk membangun karakter seseorang yang telah dibentuk orangtuanya selama 18 tahun bukanlah suatu hal yang mudah.
Materi kekuatan perusahaan dari zona nyaman ke zona tidak nyaman menjadi perhatian saya. Dalam keseharian sebagai ibu dan pendidik saya menyadari saat ini sedang membentuk karakter manusia untuk bersedia melakukan transformasi dari zona nyaman ke zona tidak nyaman sementara pada saat yang sama saya justru harus ikut bertumbuh untuk mengikuti transformasi itu
Zona tidak nyaman, merupakan proses dari manusia untuk “naik kelas”. Bisa kita bayangkan, sedang nyaman tidur dan istirahat di kasur yang empuk. Kita malah di wanti-wanti untuk sholat tahjjud sebagai media paling afdol untuk mendekatkan dengan sang pencipta. Sedang enak-enak bekerja menjadi anak kuliahan lagi untuk lanjut mengambil S2.
Sebenarnya zona tidak nyaman, hanyalah pada saat awal pembiasaan. Sebagai contoh, semua orang yang mulai membiasakan dirinya untuk olah raga 30 menit setiap hari. Pada awalnya kita harus bersusah payah melawan malas dan bosan. Jika tetap konsisten lama kelamaan olahraga itu menjadi kebutuhan dan dialkukan dengan “fun” senang.
Pada saat usia kita sudah terbiasa membaca buku-buku ‘berat’, ternyata harus kembali membaca buku-buku yang digemari remaja karena ingin berempati dengan anak yang akan memasuki usia baligh.
Banyak zona tidak nyaman yang harus kita masuki dengan sebenarnya kita ‘tidak suka’. Tetapi ternyata zona tidak nyaman itulah yang akan semakin mendewasakan kita. Kalau semua orang hanya menyukai zona nyaman, mungkin tidak ada orang yang bertumbuh, “The common denominator of success” yang ditulis oleh E.M Gray mengatakan, ‘orang sukses mempunyai kebiasaan mengerjakan hal-hal yang tidak suka dikerjakan oleh orang gagal’, Mereka belum tentu suka mengerjakannya. Namun, ketidaksukaan mereka tunduk pada kekuatan tujuan mereka.
Tujuan atau mimpi yang akan dan ingin kita capai mendorong kita masuk dalam zona tidak nyaman. Kita berjuang keras untuk terus menerus berada disana dan lama-kelamaan zona tidak nyaman menjadi hal yang biasa untuk kemudian menjadi zona yang nyaman. Untuk bisa melakukan perubahan-perubahan hari ini lebih baik dibandingkan yang terdahulu, kita membutuhkan suatu zona baru yang boleh jadi zona baru itu akan menjadikan anda manusia baru “ Building a new you “ Wallahu a’lam.

KARAKTER TIDAK DIBENTUK SECARA INSTANT

Masih ingat dengan pribahasa ‘ Anda selalu menuai apa yang anda tabur ?’ begitu juga dengan karakter anak-anak kita. Mulai dari memilih pasangan seperti apa yang akan kita nikahi, yang akan menjadi ayah atau ibu anak-anak kita. Kita seperti sedang memilih warna-warna kehidupan yang akan mewarnai sang anak. Lalu 20 tahun yang akan datang warna itu akan semakin jelas kelihatan, sesuai dengan warna yang kita pilih 20 tahun yang lalu. Ada slah satu komentar seorang Ayah ‘Putera saya yang masih remaja suka memberontak dan menggunakan obat bius. Apapun yang saya coba lakukan, ia tidak mau mendengar. Apa yang dapat saya lakukan ?’ mungkin Bapak tadi perlu kilas balik, sewaktu memilih pasangan hidupnya wanita seperti apa ? Bukankah salah satu hak anak adalah memiliki ibu yang baik ?
Beberapa kali saya mendengar dari teman-teman yang suaminya baru saja jadi epjabat kecil-kecilan, diwajibkan mengikuti etika kepribadain di Jakarta. Tentu saja pakai dana APBD. Merekapun pergi berombongan. Memang Etika KEpribadian dapat menggunakan tehnik mudah dan cepat, yang mungkin dapat berhasil dalam jangka pendek. Semua yang diperbaiki seputaran etika luar-luarnya saja. Bisa kita bayangkan, ibu-ibu yang sudah dia atas kepala empat itu memfokuskan pada teknik bersikap intelek dengan belajar sebanyak mungkin secara tergesa-gesa dalam waktu singkat. Kita memang dapat menggunakan Etika Kepribadain untuk lulus dan membuat kesan yang baik, melalui pesona dan keahlian serta berpura-pura tertarik pada pembicaraan orang lain. Akan tetpai etika Kepribadian tidak akan pernah mempunyai manfaat permanen dalam hubungan jangka panjang. Pada hakikatnya, siapa kita apa adanya berkomunikasi jauh lebih fasih dibandingkan apapun yang kita katakana atau kerjakan. Saya sering kasihan kalau mendengar komentar ibu-ibu pejabat yang sedang membahas suatu permasalahan sering tidak jelas juntrungannya agar terkesan pandai oleh audiens padahal professional yang dengar sering pening. Bagaimanpun mereka memperbaiki cara duduknya, lapisan bedaknya, sangat terlihat tegang seperti memakai topeng. Tetapi ini memang khas tipikal ibu-ibu pejabat daerah yang baru saja dapat rejeki nomplok dari sistem otonomi daerah dengan DAU yang sangat besar. Seperti dapat lotre, bingung bagaimana mengalokasikan uang dan bagaimana harus bersikap karena keterbatasan pengetahuan.
Kembali ke persoalan anak-anak kita tersayang pewaris bangsa 20 tahun yang akan datang, kalau kita hubungkan dengan kisah ibu pejabat tadi, bahwa karakter anak dibentuk hari demi hari. Seperti sebuah rajutan, tidak ada yang instan. Dibentuk petlahan sehingga anak memiliki kekuatan karakter yang mendasar dari segi intelektual dan akhlak. Harga harus dibayar dan proses harus diikuti. Anda selalu menuai apa yang anda tabur, tidak ada jalan pintas. Pengakuan sosial akan bakat anak kita, harus diikuti dengan kebesaran atau kebaikan primer di dalam karakter mereka. Dalam kata-kata William George Jordan, “Ke dalam tangan setiap indivisu diberikan kekuasaan yang mengangumkan untuk berbuat baik atau jahat – pengaruh yang diam, tidak disadari, tidak terlihat dari kehidupaannya. Ini benar-benar merupakan pancaran konstan dari siapa orang itu sebenarnya, bukan sosok pura-pura yang ia perankan, “ Wallahu’alam”.

KASIH SAYANG TANPA SYARAT

“Anak saya yang berumur 2 tahun itu, memang beda bu, Dia susah diatur, beda dengan kakaknya. “ Saya dengar kata-kata itu dari seorang ibu sekitar 3 tahun yang lalu, dan waktu bertemu lagi dengan teman itu beberapa bulan yang lalu, dia amsih membicarakan anak yang nomor 2 tetap dengan label yang sama. Anaknya yang nomor dua itu masih susah diatur, dan ternyata susah diatur disini maksudnya identik dengan prestasi di sekolah yang jelek, tidak sopan dan sering bikin masalah. Selalu saja kita tanpa sadar ada pamrih terhadap anak. Anak-anak kita akan mengharunkan nama orangtuanya dengan prestasi yang segunung. Atau dalam iklan-iklan sering kita dengar, ada seorang anak yang juara, lalu ayahnya berkata : “ itu baru anak ayah “.
Anak-anak kita juga setiap di kondisikan kasih sayang dengan syarat, syarat untuk mendapatkan pengakuan bahwa dia anak kita, adalah prestasi. Kalau anak-anak ibarat cermin orangtuanya, mungkin “susah diatur”, tadi adalah sudah pola pendidikan yang tidak teratur. “Kasih Sayang tanpa syarat” diperlukan oleh anak agar dalam perkembangan, tidak dalam keadaan tertekan agar mereka dapat tumbuh dengan wajar.
Ketika kita benar-benar mengasihi orang lain tanpa syarat, tanpa ikatan, kita membantu mereka merasa terjamin dan aman serta diteguhkan dalam nilai esensial, identitas dan integritas mereka. Kita member mereka kebebasan untuk berbuat menurut tuntutan batin mereka sendiri dan bukan bereaksi terhadap persyaratan dan keterbatasan kita. Hal ini tidak berarti kitab menjadi pemisif dan lunak. Kita menasehati, kita memohon, kita menetapkan batas, dan konsekuensi. Tetapi meski begitu, kita tetap mengasihi.
Sewaktu anak ingin tumbuh menjadi diri mereka sendiri, sementara ayah dan ibunya mempunyai perencanaan masa depan sesuai dengan peta pemikiran mereka saat ini. Padahal anak itu akan tumbuh tidak pada zaman mereka. Didiklah anak sesuai dengan zamannya kata Imam Ali, Anak hanyalah boneka ambisi orangtua. Akibatnya anak tertekan tidak menjadi dirinya sendiri dan orangtua juga frustasi jalan hidup anaknya tidak sesuai dengan skenario yang telah mereka rancang sejak bayi. Ada juga orangtua yang berusaha memahami, tetapi Sebagian besar selalu ada ancaman yang terselubung. Kasih sayang hanya akan diberikan jika anak memenuhi persyaratan sesuai dengan keinginan orang tua. Itulah yang dinamakan kasih sayang dengan syarat. Dapat kita bayangkan, anak-anak menjalani harinya seperti pedagang di pasar. Dia belajar tunggang langgang bukan karena ingin berprestasi tetapi semata-mata agar tidak mendengar kata-kata orangtua yang melecehkan dan sinis jika tidak berprestasi. Bukankah sebagai manusia, anak-anak dikaruniai potensi manusiawi yang unik ?
Kasih sayang tanpa syarat justru akan membuat anak merasa aman. Semakin akan merasakan suatu kasih sayang yang tulus dan ia diterima apa adanya maka ia akan berusaha keras memberikan yang terbaik untuk orang yang mengasihinya secara penuh. Seluruh potensi yang dimilikinya akan dipersembahkan dengan penuh perasaan pada orangtua yang ikhlas tanpa pamrih . Wallahu’alam.

KETERAMPILAN PEKERJAAN DI RUMAH

Beberapa tahun yang lalu, sewaktu kita fikir pelajar kepemimpinan hanya untuk pemimpin negara dan perusahaan, banyak orang tua yang amsih bangga kalau keman-mana ditemani baby sistter lengakap dengan seragam yang biasanya berwarna putih atau biru muda. Ibunya akan memanggil "suster" terhadap pengasuh anak tadi. Dengan baby sitter menunjukkan suatu status sosial tertentu. Mungkin sekarang masih banyak kita temukan ditempat-tempat umum. Bagian dari ilmu kepemimpinan adalah "understandingself", termasuk di dalamnya memimpin diri sendiri.

Bagi ibu-ibu yang bekerja, jasa babby sitter terasa sangat diperlukan. Tetapi, ada kalanya keterusan sampai anak dewasa. Apakah dampaknya ? Ternyata anak-anak yang memiliki 'bodyguard' ini, bersikap bossy atau ngebos. Mereka mulai mengerti bahwa suster itu digaji orangtuanya untuk melayani seluruh keperluan dia. Pihak sekolah selalu kesulitan karena nilai-nilai yang diajarkan disekolah sangat berbeda dengan yang diterapkan di rumah. ada Suster, yang setiap anak majikannya pulang sekolah berusia 10 tahun, langsung membukakan sepatu, mengambilkan minum, mengambilkan baju ganti, dan handuk bahkan menyiapkan makanan, padahal anak tadi sehat walafiat tetapi diperlakukan seperti anak cacat fisik. Ada juga bukan oleh suster, tetapi oleh nenek yang terlalu sayang pada cucunya. Atau oleh ibunya sendiri karena kurang pengetahuan. Jangan heran, jika anak-anak pejabat atau pengusaha sukses yang jam terbangnya di luar sangat tinggi banyak memiliki anak yang 'aneh'. Dikelas maunya diladeni, cepat merajuk, dan kasar terhadap teman-teman. Akhirnya mereka dikucilkan. teteapi sewaktu orangtua diajak mendiskusikan dengan psikolog sekolah, orang tua yang bersangkutan malah bingung, karena merasa telah memenuhi seluruh keperluan anaknya.
Apapun status kita, anak ternyata perlu bersama-sama dengan orangtuanya pernah memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, walaupun hanya sebulan sekali. Atau ia diberi tanggungjawab tertentu seperti membersihkan kamarnya sendiri, mencuci piringnya sehabis makan siang dll. Mengapa ? untuk menanamkan nilai-nilai, bahwa pekerjaan itu sangat diperlukan jika suatu waktu dia tidak bersama kita. Selain itu menekankan bahwa pekerjaan rumah sangat mulia dilakukan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah yang melakukan sendiri keperluan pribadinya. Disamping itu akan menanamkan rasa rendah hati dan mampu bekerjasama dengan orang lain. Sehingga ia tidak kaget melihat kenyataan diluar. Pernah anak seorang teman, sesampainya di Jerman untuk keperluan studi, menemukan abnyak masalah. Bahkan karena otaknya bodoh, tetapi semua keterampilan rumah tidak sanggup dia lakukan bahwa memasak air sekalipun. Perasaan gamang muncul sewaktu harus melakukan sendiri segala sesuatu untuk keperluan dirinya.
Keterbatasan waktu karena kesibukan mencari uang dan mengejar eksistensi diri sering melenakan orangtua, bahwa dia sedang diberikan amanah berupa manuasia, bukan benda.

Selasa, 10 Februari 2009

KETERAMPILAN PEKERJAAN DI RUMAH

Beberapa tahun yang lalu, sewaktu kita fikir pelajar kepemimpinan hanya untuk pemimpin negara dan perusahaan, banyak orang tua yang amsih bangga kalau keman-mana ditemani baby sistter lengakap dengan seragam yang biasanya berwarna putih atau biru muda. Ibunya akan memanggil "suster" terhadap pengasuh anak tadi. Dengan baby sitter menunjukkan suatu status sosial tertentu. Mungkin sekarang masih banyak kita temukan ditempat-tempat umum. Bagian dari ilmu kepemimpinan adalah "understandingself", termasuk di dalamnya memimpin diri sendiri.

Bagi ibu-ibu yang bekerja, jasa babby sitter terasa sangat diperlukan. Tetapi, ada kalanya keterusan sampai anak dewasa. Apakah dampaknya ? Ternyata anak-anak yang memiliki 'bodyguard' ini, bersikap bossy atau ngebos. Mereka mulai mengerti bahwa suster itu digaji orangtuanya untuk melayani seluruh keperluan dia. Pihak sekolah selalu kesulitan karena nilai-nilai yang diajarkan disekolah sangat berbeda dengan yang diterapkan di rumah. ada Suster, yang setiap anak majikannya pulang sekolah berusia 10 tahun, langsung membukakan sepatu, mengambilkan minum, mengambilkan baju ganti, dan handuk bahkan menyiapkan makanan, padahal anak tadi sehat walafiat tetapi diperlakukan seperti anak cacat fisik. Ada juga bukan oleh suster, tetapi oleh nenek yang terlalu sayang pada cucunya. Atau oleh ibunya sendiri karena kurang pengetahuan. Jangan heran, jika anak-anak pejabat atau pengusaha sukses yang jam terbangnya di luar sangat tinggi banyak memiliki anak yang 'aneh'. Dikelas maunya diladeni, cepat merajuk, dan kasar terhadap teman-teman. Akhirnya mereka dikucilkan. teteapi sewaktu orangtua diajak mendiskusikan dengan psikolog sekolah, orang tua yang bersangkutan malah bingung, karena merasa telah memenuhi seluruh keperluan anaknya.
Apapun status kita, anak ternyata perlu bersama-sama dengan orangtuanya pernah memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, walaupun hanya sebulan sekali. Atau ia diberi tanggungjawab tertentu seperti membersihkan kamarnya sendiri, mencuci piringnya sehabis makan siang dll. Mengapa ? untuk menanamkan nilai-nilai, bahwa pekerjaan itu sangat diperlukan jika suatu waktu dia tidak bersama kita. Selain itu menekankan bahwa pekerjaan rumah sangat mulia dilakukan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah yang melakukan sendiri keperluan pribadinya. Disamping itu akan menanamkan rasa rendah hati dan mampu bekerjasama dengan orang lain. Sehingga ia tidak kaget melihat kenyataan diluar. Pernah anak seorang teman, sesampainya di Jerman untuk keperluan studi, menemukan abnyak masalah. Bahkan karena otaknya bodoh, tetapi semua keterampilan rumah tidak sanggup dia lakukan bahwa memasak air sekalipun. Perasaan gamang muncul sewaktu harus melakukan sendiri segala sesuatu untuk keperluan dirinya.
Keterbatasan waktu karena kesibukan mencari uang dan mengejar eksistensi diri sering melenakan orangtua, bahwa dia sedang diberikan amanah berupa manuasia, bukan benda.

Jumat, 06 Februari 2009

MENDETEKSI BAKAT ANAK

Kita sering mendengar, setiap pribadi anak adalah unik. Walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama. Di sekolah swasta di kota besar, sudah mulai ditekankan untuk memperlakukan setiap anak secara individual. Howard Gardner sebagai penemu Multiple Intelligence (kecerdasan amjemuk), mengatakan 8 kecerdasan pada manusia adalah : bahasa *linguistic), matematika, visual/spasial, kinestetik, musical, intrapersonal, interpersonal dan intuisi.
Akan tetapi, kecerdasan tertentu lebih menonjol bagi 1 individu, dibanding yang lain. Misalnya seorang anak yang nilai matematika dan IPA nya baik, tetapi sulitbergaul. Atau seorang anak yang pandai berpidato, banyak teman tetapi nilai matematikanya biasa saja.
Orangtua perlu membaca informasi mengenai kecerdasan majemuk ini, sehingga tidak cepat member vonis bahwa anak kita bodoh karena nilai amtematikanya jelek dan juga dapat mendeteksi bakat anak sejak dini. Pada umur 9 tahun bakat anak sudah mulai dapat di deteksi kemudian diasah. Standarnya bisa kita lihat dari nilai rapor, pribadi keseharian dan konsultasi dengan guru di sekolahnya. Setelah kita mulai mengetahui kecenderungan anak, maka kita secara perlahan dapat mulai memperkenalkan beberapa profesi yang sesuai dengan kecerdasan dan pribadi anak. Siakp kita disini hanyalah mengarahkan dan memfasilitasi.
Sebagai contoh, jika anak memiliki pribadi yang supel, periang,a ktif berbagai organisasi sekolah, tertarik dengan berita dari luar negeri, mungkin kita bisa jelaskan profesi seorang diplomat. Latar belakang pendidikan biasanya Hubungan Internasional, tentu saja harus fasih berbahas ainggris. Bila kita fasilitasi dengan buku-buku biografi tokoh nasional dan internasional, juga informasi tentang Negara-negara di dunia dan budaya masyarakatnya. Begitu pula dengan bakat-bakat yang anak yang lain.
Orangtua konvensional biasanya tidak pernah terlibat dalam perkembangan anaknya. Bukan saja orang tua yang tidak berpendidikan, tetapi juga orang tua yang ada di kota besar dan berpendidikan baik tetapi tidak mau. Hal inilah yang membuat anak-anak memilih jurusan kuliah yang diambil pada saat mengisi formulir masuk ke Perguruan Tinggi. Jadi hanya 5 menit dia menentukan profesi masa depannya. Sehingga banyak terjadi ‘asal kuliah’. Anak yang berbakat jadi penulis tetapi kuliah di Akademi Keperawatan. Anak yang bakat jadi Arsitek kuliah di Fakultas Pertanian. Memang banyak yang harus diketahui dan dilakukan oleh orangtua agar anak-anak kita berprestasi optimal sesuai bakat yang diberikan Alllah kepadanya sehingga kelak ia dapat bermanfaat optimal bagi masyarakat sekitarnya. Semoga kita senantisa menjadi orangtua yang peduli

BERSEDIA BERPROSES

Jadilah seperti burung
Yang Istirahat dalam terbangnya
Hinggap di ranting yang terlalu ramping
Merasakan kelenturannya
KEnikmatan ayunannya dan menyanyi
Tahu bahwa ia punya sayap
Victor Hugo

‘Istirahat dalam terbangnya’. Dalam terbangnya seekor burung, dia juga mempunyai rencana. Berhenti sesaat mengepakkan sayap, apa yang akan dia lakukan. Kalau saja kita juga mampu berhenti sesaat, sebagiaman usus kita meredakan pekerjaannya memproses makanan dalam bulan Ramadhan. Berhenti sesaat, merenungi kejadian-kejadian sejak 1 syawal tahun lalu sampai bulan Ramadhan tahun ini.
Kita dapat mengajak anak-anak duduk sebentar setelah sholat tarawih, biarkan mereka bercerita ‘apa yang bisa saya lakukan tahun ini dan apa yang ingin saya lakukan tahun depan’. Kegiatan ini, mengajak orang-orang di sekitar memeriksa table aktifitas. Tabel ‘kerja’ dan tabel deviasi atau kesalahan. Terasa masih banyak kekurangan di sana sini. Ramadhan. Kita jadikan moment untuk pelabuhan berhenti sesaat menengok ke belakang, memeriksa bekal apakah sudah cukup kalau tidak bertemu lagi dengan Ramadhan berikutnya atau memperbaiki kwalitas pribadi setelah melalui proses pembersihan jiwa.
Kadang-kadang menertawakan diri sendiri memang perlu, ketidaksempurnaaan akan menuntut kita untuk bersedia berproses, sebagaimana ulat menjadi kupu-kupu, meyakinkan diri bahwa setelah Ramadhan menjadi pribadi yang lebih cerah.
Anak saya yang pertama menulis hasil evaluasinya “ Tahun ini aku bisa baca Qur’an besar, sudah wisuda hafal Jus Amma, bisa tidur sendiri, sholatnya sudah jarang bolong, aku suka malas membersihkan kamar sendiri karena Muthia suka lama bangunya. Les bahasa inggris suka, sekaarng level 3, tapi les piano kadang-kadang tidak pergi, baju-baju aku sering kasih untuk sepupu, saudara-saudara dan anak pembersih kolam renang. Kalau aku pulang ibu sudah di rumah, ayah juga praktek di rumah. Yang aku inginkan tahun depan, ingin punya buku yang banyak.”
Evaluasi anak-anak memang sederhana, kalau kita bisa lebih terperinci dalam bentuk tabel. Tabel tersebut termasuk di dalamnya evaluasi keluarga, “karya/karir”, “perjalanan”, “pendidikan”, “kwalitas ibadah”, “organisasi/masyarakat”. Anak-anak juga bisa dibuatkan tabel sederhana sesuai dengan kegiatan mereka. Motivasi kita untuk melakukan kebaikan sangat dipengaruhi kekokohan spiritualitas kita. Emosi dan motivasi yang tidak berakar pada nilai-nilai spiritual, laksana pohon tingggi yang rawan patah jika diterjang badai, Wallahu’alam.

ORANGTUA BERKEPRIBADIAN GANDA

“ Ibu, kok banyak yang jual bendera, kantor ayah juga dipasang bendera warna-warni? Tanya salah seorang siswa TK pada gurunya di kelas. “Khan sebentar lagi hari kemerdekaan” jawab gurunya sambil mengisi buku komunikasi untuk orangtua “ KEmerdekaan apa sih bu?” tanyanya lagi. “Kemerdekaaan itu khan setiap tgl 17 Agustus, nah waktu itu kita sudah tidak dikuasi lagi oleh bangsa lain, kita sudah bebas mengatur Negara kita, adek tau nggak Negara kita apa namanya ?” jawab guru sambil merangkul siswanya ke luar kelas karena sudah dijemput. “Indonesia, kan bu” Ya saying, assalamualikum” Jawab gurunya sambil bersalaman sebelum berpisah.
Mungkinarti kemerdekaan memang amsih misterius bagi setiap anak. Tapi mereka melihat di jalan-jalan semua orang sibuk menghias kantor masing-masing. Setiap tahun mereka mungkin masih ingat bahwa setiap menjelang tanggal 17 agsutus kota mereka berubah menjadi cantik. Lalu intinya ‘kenapa’. Anak-anak memang sudah dibiasakan sejak awal, setiap melihat sesuatu mereka tidak paham kita pancing dengan fakta-fakta, lalu mereka akan menanyakan mengapa dan bagaimana ? Kata menagpa dan abgaimana akan merangsang Kemampuan analisa anak. Pertama ‘mengapa’ hari kemerdekaan dirayakan dengan menghias kota, kantor-kantor, ada penanggung besar di tengah jalan lalu ‘bagaimana sebenarnya hari kemerdekaan itu’. Tentu saja jawaban kita sesuai dengan kadar pemahaman mereka atau sesuai dengan usia mereka.
Tetapi harus diwaspadai bahwa nilai-nilai yang kita berikan terhadap sesuatu ungkapan rasa syukur tidak dengan jawaban ‘biasanya memang terjadi demikian’. Hal ini akan mematikan kreativitas. Misalnya, ‘Ibu, apakah kalu kita merayakan dan bersyukur itu berarti makan bersama, lalu bernyanyi kemudian ditutup dengan do’a?”, atau pertanyaan, “Ibu, setiap perayaan di kota apakah orang-orang menyanyi di jalanan ?” sewaktu dia melihat di teve orang-orang ikut bergoyang dengan penyanyi dangdut kemudian acara ditutup dengan do’a. Jika nilai-nilai disekitar menetapkan standar ‘rasa syukur’ yang nyaris tidak ada nilai pendidikan. Kita juga harus bijak menjawabnya agar dia tidak binggung. Beberapa kali saya sengaja mengajak anak-anak melihat praktek ayahnya setelah shalat Isya. Atau setiap sabtu saya bawa mereka melihat kesibukan saya di kantor. Tujuannya, mendapatkan pemahaman bahwa sesuatu dapat diperoleh setelah kita bekerja keras kemudian berdo’a dan emnsyukuri nikamt Allah SWT dengan menghargai, memelihara semua yang kita miliki, tidak mubazir serta mau berbagi dengan orang lain.
Sebagai makhluk berakal, hati-hati dengan penanaman nilai-nilai yang seperti dianggap bakau karena sudah dilakukan turun temurun padahal banyak efisiensi bisa dilakukan. Kalau memang kita sering menunjukkan keprihatinan itu dengan tindakan nyata, misalnya gaya hidup yang wajar, membantu anak-anak pintar dari keluarga miskin dsb. Jika kita terus emnerus mengadakan pesta dan boros, saya khawatir anak-anak akan pecah pribadinya atau split personality, karena nilai yang ditanam tidak sesuai dengan kenyataan yang dilakukan. Atau anak-anak bisa menyangka orangtuanya yang split personality. Berkepribadian ganda. Ada gangguan alur berfikir. Wallahu’alam.

PEMENUHAN KEBUTUHAN INTELEKTUAL ORANGTUA

Kesibukan…………..
Antara kesibukan dan kemajuan sering bertemu
Berlawanan.
Hanyalah para pahlawan yang memepunyai ciri mau
Berfikir, menulis dan berjuang,
Untuk kemajuan dan kemaslahat orang lain yang lebih banyak,
Walaupun dirinya tidak mendapatkan keuntungan.
Motivasi berprestasi, kreatifitas, inovasi, energy positif, komitmen
Kemajuan………. Identik dengan pengorbanan
Kualitas……….. identik dengan profesionalisme
………………..
B.S Wibowo Trusco 1999

Sebuah renungan bagi kita. Kesibukan dan peranan kita sebgaai orangtua tak kan pernah putus, memerlukan keikhlasan yang terus menerus. Tanpa pamrih. Bekerja semata-mata menjalankan kehidupan dengan benar, jernih. Menjaga pengorbanan dan profesionalisme tetap seiring. Kebahagiaan tak terhingga diraih dengan melihat kebahagiaan orang lain akibat kerja kita. Ibu meemanglah seorang pahlawan yang luarbiasa hebat.
Ibu yang dapat keluar dari fikir pada lingkaran kebutuhan pokok dan logistic Ibu, yang dalam ketenangannya, muncul suatu kecendrungan untuk memenuhi kebutuhan intelektual dan spiritual.
Jebakan sebuah paradigm tentang kesuksesan identik dengan bertambahnya asset materi membuat kita berputar-putar dalam orbit mengejar status sosial. Seorang ayah yang berusia di atas 40 tahun seradak seruduk mengejar jabatan kepala dinas. Hanya itulah obsesi terbesar yang dimilikinya sebelum pensiun. Obsesi yang terlalu sederhana untuk seorang laki-laki, pemimpin. Atau obsesi seorang ibu untuk tetap duduk di kursi paling depan pada setiap acara karena status suaminya. HAnya itulah obsesinya. Sangat ringan dan tidak akan pernah menjadikannya seorang yang dikenang. Umurnya hanya sebatas usia fisik kasarnya. Ia akan mati dan tak dikenang setelah dipisahkan antara ruh dan raganya.
Untuk menjadi besar kita meemang harus berfikir. Orangtua yang berfikir besar, dan banyak memikirkan kemaslahatan hidup orang banyak akan membuat anak-anak yang juga memiliki visi yang ikut besar. Sekali lagi, tidak berkisar seputar dirinya. Hukum Maslow mengatakan bahwa seseorang akan memenuhi kebutuhan intelektual atau aktualisasi diri setelah kebutuhan logistik atau kebutuhan dasarnya terpenuhi,Tetapi masih banyak orangtua yang sampai mendekati ajal tidak pernah naik kelas pada kebutuhan intelektual. Gede Prama – Seorang konsultas pernah bertutur, setelah memiliki mobil kijang, ingin memiliki mobil Honda, kemudian naik lagi ke mobil BMW, terus anik ke mobil jaguar, Ferrari dan rolls Royce. Terus haus dengan pemuasan fisik. Seperti pejabat yang terus menerus mengisi pundi-pundinya dari setiap proyek yang ditandatangani. Ada penyakit sindroma skarsiti-karena pada waktu muda sangat susah sehiingga obsesi akan uang tidak bias dihentikan. Rekening satu triliyun, rumah 20 buah pun terasa kurang terus. Sementara, anak-anak yang terus tumbuh dengan kita menyaksikan sepak terjang orangtuanya dan karakter ini terwarisi dengan baik. Ternyata lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengetuk kegelapan. Wallahu’alam

TERLAMBAT BERSIKAP MANDIRI

Salah satu murid playgroup kami mengundurkan diri. Padahal belajar baru saja mulai 3minggu. Ada pa ? Saya mencaritahu pada beberapa guru. Setiap perpisahan dengan ibu sewaktu mengantar kan sekolah selalu terjadi banjir Airmata. Tangan-tangan kecil itu memegang erat baju ibu sambil menangis. Sewaktu wawancara ibu tersebut mengatakan bahwa stiap ia ke kamar mandi sekalipun, anaknya menunggu di depan kamar mandi. Balita berusia tiga tahun itu memenag tidak sanggup untuk berpisah dengan mamanya, walau hanya sedetik. Mungkinkah seorang balita mengalami krisis identitas ?
Seorang psikoanalisa, Erik Homburger Erikson mengemukankan, amanusai akan mengalami delapan perkembangan (tahap psikososial) dalam hidupnya. Tiga tahap awal yang dialami anak adalah 1. Infant, 2. Toddler, 3. Early Childhood. Masing-masing tahap perkembangan dicirikan oleh suatu ‘krisis’ psikologis yang berbeda, yang harus diatasi oleh indivvidu sebelum ia bias melangkah ke tahahp berikut.
Dalam buku ‘Being a Mom in America’ yang ditulis Shelley wu, doktor psikologi social, memakaia batasan krisis tahap 2 (Toddler), memakai bbatasan usia 1-2 tahun dan tahap 3 (early childhood) untuk 2-6 tahun. Pada tahap 2 merupakan tahap mandiri versus ragu-ragu. Anak belajar berjalan, bicara, memakai toilet dan emlakukan segala sesuatu sendiri. Kendali diri (self-conmtrol) dan rasa percaya diri (self-confidence) mereka mulai berkembang. Krisis psikologis timbul karena keinginan untuk kemandirian yang mulai tumbuh pada diri anak selalu dilawan oleh keragu-raguan (atau rasa malu). Orangtua diharapkan mendorong anak memakai inisiatifnya dan tenangkan jika ia melakukan kesalahan. Sedangkan pada tahap 3 (early Childhood) terjadi fase inisiatif versus kesalahan. Pada tahap ini, mereka belajar mencapai keseimbangan antara keinginan untuk lebih banyak mendapatkan petualangan dan keinginan lebih bertanggungjawab. Tetapi masih takut melakukan kesalahan. Jika orangtua mendorong penggunaaan inisiatif pada anak, dan menentramkan anak saat membuat kesalahan, anak akan mengembangkan kepercayaan yang diperlukan untuk mengatasi situasi masa depan yang memerlukan pilihan, kendali dan kemandirian. Apabila orangtua kelewat melindungi, mencela atau tidak menyetujui kemandirian anak,a kan mengakibatkan rasa bersalah dan meyakini bahwa menjadi mandiri adalah sesuatu yang salah.
Kemandirian ini semakin bermasalah bila anak termasuk anak ‘sangat berharga’ dalam keluarga. Misalnya setelah dinantikan selama bertahunu-tahun telah menikah, anak satu-satunya dalam jangka waktu lama. Cucu pertama bagi kedua keluarga besar . Orangtua menagalmi kesulitan menerapkan pola pendidikan yang akan mereka terapkan pada anak, Jika masih tinggal dengan orang tua. Belum termasuk anggota keluarga lain yang selalu siap membantu si kecil dan semakin memperlambat kemadiriannya. Jadi jangan heran jika anak usia 5 tahun masih ada yang minum dari botol, mengisap jempol, dan segala tingkah bayi atau fase infant padahal dia telah memasuki fase ‘early childhood’, Wallahu’alam.

Rabu, 04 Februari 2009

SURAT IBU

Sewaktu mengantarkan anak gadisnya ke bandara untuk melanjutkan ke bangku kuliah, seorang ibu memberikan selembar kertas. “Bacalah nak, setiap engkau merindukan ibu”

Tak berapa lama setelah sampai di kamarnya yang baru, Dibuka dan dibacanya lembaran yang diberikan ibu.

Anakku, apa yang kau alami saat ini telah ibu jalani 20 tahun yang lalu.
Saat itu ibu dikondisikan untuk menjadi yang terbaik.
Ibu telah dididik untuk menjadi seorang pemenang, tanpa diberitahu menang terhadap apa dan terhadap siapa.

Pada saat itu, ibu telah membaca banyak buku bahwa wanita hanyalah korban , objek, lemah dan bodoh, disertai bukti-bukti nyata betapa banyak wanita yang teraniaya di dunia ini.

Semakin lama, ibu sadar bahwa siapa lawan ibu pada saat itu. Terutama setelah ibu dibiasakan mendengar istilah emansipasi. Ibu tidak pernah diajarkan satu SKS pun untuk menjadi wanita yang benar. Tapi ibu diajarkan bagaimana agar ibu, sebagai perempuan akan menyamakan prestasi , atau bahkan akan mengalahkan makhluk yang bernama laki-laki.

Dari mulai SD, SMP, SMA bahkan di bangku kuliah ibu menerima pelajaran demi pelajaran, SKS demi SKS tidak berbeda dengan laki-laki. Mimpi dan ambisi perempuan dan laki-laki disamakan. Otomatis kekerasan jiwa ibu untuk menjadi pemenang semakin menggebu-gebu. Ibu memang berhasil nak, meraih segala apa yang diimpikan manusia.

Bahkan beberapa kali penghasilan ibu berada di atas penghasilan ayahmu. Betapa sering dalam rapat kerja, ibulah sang pemimpin rapat dan para lelaki sebagai pendengar. Ibu juga sering menyeringai menghitung-hitung aset, betapa laki-laki tidak begitu memberi makna dan dapat dikalahkan dengan telak. Bahagiakah ibu dengan kesombongan itu, nak? Hidup seakan-akan hanyalah arena menang-kalah. Emansipasi telah begitu mengerogoti sel-sel pikiran seorang perempuan untuk merasakan eforia kemenangannya terhadap laki-laki.

Kemudian, fase hidup ibu beranjak, dari usia dua puluhan, menjadi tiga puluhan, dan terus merangkak naik 32, 33, 34 dst sampai saat ini. Tahu kah engkau buah hatiku apa yang ibu rasakan saat ibu sudah semakin matang sebagai perempuan? Setelah ibu melahirkanmu dan menyaksikan engkau tumbuh, ibu sadar, kenapa aroma sorgawi justru ibu temukan setiap mengorbankan kepentingan ibu untuk kebahagiaanmu. Ternyata jiwa perempuan tak bisa di jadikan arena menang-kalah. Dia harus dikembalikan sesuai dengan tujuan perempuan diciptakan Sang Maha Kekasih. Dia harus dikembalikan pada fitrahnya.

Bahkan anakku, di dalam badan kita Allah telah mengaruniakan suatu organ yang dia sebut dengan asmanya yang sangat indah, yaitu RAHIM. Jiwa perempuan memiliki fitrah yang sangat mulia, lembut dan sumber kasih sayang. Menyaksikan engkau tumbuh, ibu seperti melihat cermin. Ibu tak akan membiarkan engkau memasuki arena tak jelas yang mengejar sesuatu yang juga tak jelas.

Engkau tetap sebagai pemenang nak, raihlah mimpimu, tanpa harus mengalahkan siapa-siapa kecuali mengalahkan dirimu sendiri. Ibu bergidik, cemas, khawatir engkau akan melalui fase kehidupan seperti ibu. Ibu tidak rela engkau menemukan dirimu di usia setua ibu. Ibu ingin engkau jauh lebih bijak, lebih arif, dan hidup sesuai dengan fitrahmu. Banggalah dan berbahagialah menjadi perempuan, karena hanya dengan membuat Sang Maha Kekasih, ayah, ibu, suami dan anak-anakmu tersenyum maka surga telah ada di telapak kakimu.

Sebuah Harapan

Seorang ibu hamil mengelus lembut perutnya
Perlahan ia bernyanyi ’ Kasih ibu...kepada beta tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.’
Kemudian ia tersenyum, sambil meraih sebuah buku cerita bertuliskan huruf-huruf besar.
Dibacakannya kata demi kata dengan jelas dan penuh ekspresi.
Seolah-olah ia dapat menyaksikan tawa janin yang ada dalam rahimnya
Sudah hari ke 100 sejak mengetahui dirinya hamil, ia melakukan hal ini berulang-ulang setiap hari.
Kadang ia bernyanyi, kadang berbicara mengarang cerita,
Kadang ungkapan kasih sayang
Kadang ia mengajak berdoa bersama
Kadang ia berlama-lama membaca Al-Quran,
Mengharapkan gema suara masuk melewati dinding rahimnya
Ia yakin, ada sambungan tali kasih sayang
Tak terlihat oleh mata, tak dapat disentuh oleh tangan,
Hanya dapat dirasakan dengan jiwa

Sewaktu pertama kali melihat anaknya yang telah lahir
Matanya berbinar dan bertutur:
Anakku, sewaktu engkau ada di dalam tubuhku
Cinta telah menyelubungi hati ibu
Sesaat setelah engkau lahir
Cinta ibu demikian menggelora
Ibu yakin Sang Maha Kekasih telah memberi amanah yang terindah
Ibu yakin inilah bentuk cinta ibu pada Sang Maha Kekasih
Bukankah Mencintai apa yang dicintai kekasihnya adalah
puncak cinta seseorang pada kekasihnya.
Kemudian ia menangis haru,
Bibirnya berkata lirih
’Ya Allah, jadikanlah ia jalan hamba menuju surgaMu....’

Renungan Untuk Para Orangtua

Wahai Ibu dan Ayah yang telah diamanahkan pemimpin manusia masa depan.
Apakabar buah hati kita di rumah?

Ibu dan ayah yang dikasihi Allah,
Masih ingat saat kita belajar membaca Al Quran dahulu?
Huruf-huruf hijaiyah dalam Al Quran hanya sebatas mampu membaca, tanpa mengenal makna. Al Qur’an hanya akrab sampai usia kita 7 tahun, kemudian kita lupakan? Bahkan di saat kita telah hidup mapan, dan banyak masalah, kita baru mencoba membuka lembaran-lembaran Al Qur’an kembali. Kita harus bekerja keras mengingat cara membaca Al Qur’an sebagaimana ingatan di usia 7 tahun lalu ?
Apakah kita biarkan buah hati melalui hari-hari yang semakin sulit tanpa tuntunan?

Ayah dan Ibu, Siapakah idola si buah hati?
Siapakah Rasulullah, bagaimana perjalanan hidup manusia mulia ini?
Bagaimana kita mengenalkan figur yang akan menjadi cahaya buah hati dalam menjalankan hidupnya?

Wahai saudaraku ,
Begitu banyak samudra ilmu yang telah kita tanggalkan dari jiwa si buah hati. Apakah yang akan kita jawab, jika amanah yang akan memimpin dunia ini kita biarkan jiwanya mengembara mencari jalannya sendiri. Manakah jalan yang benar itu........Siapakah yang menghadirkanku ke dunia ini.............Siapa yang akan ku teladani..........Apa yang harus kulakukan.........Kemana tujuan hidup ini sebenarnya..........Bagaimana akhir perjalanan ini.........Sesuaikah kehendak orangtuaku dengan kehendak Yang Menciptakanku?.....

Waktu terus beranjak sangat cepat. Akankah kita mampu menjawab Sang Pemberi amanah, telah kita perlakukan seperti apa jiwa-jiwa yang telah ditakdirkan Allah dilahirkan dari rahim dan tumpahan darah , kemudian kita sia-siakan. Sehingga ia tak mampu menjadi pemimpin bumi ini sebagaimana tujuan ia diciptakan?

Haruskah Islam pupus di muka bumi, karena kelalaian kita membiarkan mereka tumbuh tanpa ilmu? Hanya jiwa-jiwa yang hidup yang akan memberikan rakhmatan lil’alamin untuk bumi dan seluruh manusia. Wallahu’alam

PAKSA AKU SESUAI KEHENDAK - MU

Rabbi,
Minggu ini engkau menjemput salah satu teman ku
SEcara tiba-tiba tanpa didahului sakit
Aku terperangah dengan ketakutan MU.
Hatiku galau dan gundah
Kalau temanku yang masih muda itu bisa mati saat ini
Maka aku juga mungkin akan dihampiri kematian
Tanpa aku tahu kapan
Hari ini, lusa, minggu depan, tahun depan
Aku betul-betul tidak tahu
Yang jelas kematian itu pasti datang

Rabbi,
Entah jejak apa yang aku tinggalkan
Aku tidak tahu sebagai apa aku akan dikenang
Aku juga tidak tahu apakah hidup yang aku jalankan sesuai dengan apa yang
Engkau maksudkan kenapa aku diciptakan

Rabbi,
Waktu aku pandangi wajah
orang-orang yang aku sayangi sepenuh hati
aku betul-betul sedih
Menyadari, mereka bukan sepebuhnya milikku
Capat atau lambat Engkau akan pisahkan kami dengan peristiwa kematian
Aku harus tunduk dengan ketentuan itu
Bahwa aku, dan seluruh yang aku fikir aku miliki ternyata tidak aku milki

Apakah aku berkemampuan, mensolehkan diriku
Apakah aku berkemampuan mengahntarkan kesolehan anak-anak yang telah
Engkau takdirkan terlahir dari rahimku
Karena itulah satu-satunya jalan aku dapat bertemu denagn orang-orang yang aku kasihi kelak

Saat ini, detik ini
Aku masih diberi waktu, darahku masih mengalir
Aku masih bernafas, masih ada kesempatan untuk hidup sesuai dengan tujuan aku dihadirkan di dunia ini.

Rabbi, paksa hamba ke atas kehendak Mu,
Sesuaikan seluruh keinginanku dengan keinginan Mu
Jadikanlah kematianku sebagai
Saat-saat yang aku nantikan
Saat-saat yang aku dambakan
Saat-saat yang aku rindukan
Saat-saat dalam ketaatan
Sebagai momen terindah perjumpaan ku dengan yang paling aku kasihi diantara yang terkasih.
Amin...............

KENANGAN SEORANG IBU

Di suatu senja
Seorang Ibu menulis puisi mengenai putra putrinya
Hubungan ku dengan putera putriku bagaikan angin yang lembut
Aku tak dapat menyentuh, mencium , dan mencicipi kelezatannya
Tapi aku selalu dapat merasakannya
Dan aku selalu menyadari kehadirannya
Meski mereka selalu datang dan pergi
Tapi aku tahu, mereka pasti kembali
Andai putra putriku adalah sekuntum mawar, akulah sang duri
Yang akan melindungi mereka dan mengarahkan mereka
Andai putra putriku adalah amtahari, akulah cahaya
Membantu menerangi dan menjadikan mereka apa yang mereka kehendaki
Andai Puta putriku adalah danau yang teang, akulah mata air
Yang mengisi mereka dengan ide dan impian serta harapan masa depan
Andai putra putriku adalah pohon yang rindang, akulah sang daun,
Yang akan berbagi segala yang aku miliki dan menajdi bagian terpenting dalam hidup mereka
Andai putra putriku adalah hati, akulah debarannya, yang merasakan saat
membahagiakan dalam hidupnya juga saat ia ketakutan, kesakitan dan kecewa
Jika orang bertanya mengapa sulit bagiku melepas putra putriku
Maka aku menjawab
Bahwa puta putriku adalah bagian dari darah dan jiwaku
Aku yakin Sang MAha Kekasih telah memberi amanah yang terindah
Aku yakin inilah bentuk cinta ibu pada Sang Maha kasih
Bukankah mencintai apa yang dicintai kekasihnya adalah puncak cinta sesorang pada kekasihnya
" Ya Allah, jadikanlah ia jalan hamba menuju surgaMu "

Selasa, 03 Februari 2009

Wujud Seorang Pemenang

“The winner doesn’t take it all”
Seperti kanak-kanak
Yang berebut keping uang,
Tak perlu mengambil semua
Untuk menjadi pemenang


Untuk menjadi pemenang dalam hidup ini seperti Stephen Covey katakan pemenang yang bagaimana? Pemenang semua peran sebagai manusia? Atau pemenang menambah koleksi surat-surat tanah dan rekening di tabungan? Sewaktu mengikuti seminar Marketing Revolutions Mr. Tung Desem Waringin, pemenang selalu identik dengan orang yang mampu menjual, berapa juta dolar yang bisa dihasilkan. Kerja, raih, tangkap. Libatkan diri anda sepenuhnya dalam melayani konsumen.
Saya bisa lihat ekspresi optimis peserta training membayangkan tak lama lagi dia akan jadi “the winner’ Pemenang.
Impian-impian atau dream yang ada di benak kita, memang bisa memberi energi yang meledak-ledak untuk mewujudkannya. Saya kagum melihat nenek-nenek tertatih-tatih belajar mengartikan kata-kata dalam Al-Qur’an seminggu sekali, melihat Siti Aminah pemilik PT. Tiga Serangkai yang berusia 67 tahun masih mau mengikuti training outbond yang penuh tantangan. Padahal beliau termasuk wanita paling berpengaruh edisi Majalah SWA.
Kenapa mereka begitu semangat, penuh cinta dan impian untuk tetap ‘hidup’, memberi inspirasi terus menerus pada orang-orang sekelilingnya.
Setelah saya perhatikan para pemenang-pemenang itu, kemudian saya lihat lagi calon pemenang yang masih muda tapi punya karya yang juga spektakuler. Ada seorang pemuda Farid “Rantisi”, anggota grup nasyid F-One. Masih belia, modis, keren, dengan suara yang bagus. Tapi ada satu hal yang membuat kejutan lagi, beliau hafal Al-Qur’an.
Nah, sulit itu. Mengkombinasikan Kecerdasan Spiritualnya, tapi tetap dengan tampilan membumi, sehingga banyak remaja yang menjadikannya idola.
David J Schwartz dalam bukunya ‘Berpikir dan Berjiwa Besar’, menulis keberhasilan berarti menang. Keberhasilan berarti kesejahteraan pribadi : rumah yang bagus, liburan, perjalanan, pengalaman baru, jaminan keuangan untuk anak & istri. Keberhasilan berarti memperoleh kehormatan, kepemimpinan, disegani oleh rekan bisnis, dan popular di kalangan teman.
Ntah seperti apa pemenang itu sebenarnya. Pemenang yang punya keseimbangan, cerdas sesuai potensi yang dianugerahkan. Kadang-kadang kita jarang dan mungkin tidak pernah diajarkan belajar menyelam untuk mengenal diri. Anak-anak yang kita lahirkan juga. Sehingga selalu berada di kamar yang salah. Bekerja asal-asalan karena tidak kenal diri dan tujuan tak jelas sehingga energi dari tujuan pun minus atau malah terlalu bersemangat melihat orang sukses disana, kitapun paksa diri untuk ikut tanpa studi kelayakan. Orang jadi anggota dewan kita ikut, orang bisnis ini itu, kita ikut. Berebut bursa pilkada, kita ikut. Harus jadi pemenang, The Winner. Tapi, pantas nggaknya, kompeten nggaknya, tidak perlu! Yang penting menang. Sediakan dana besar-besaran. Kalau kita sayang dengan teman atau pasangan atau keluarga yang ikut bursa pilkada, pada waktu ulang tahun ada baiknya, kita beri hadiah cermin ukuran 3x4m. Tempelkan di dinding kamar, dan tulis di bagian atasnya “Siapakah Saya?”. Wallahu’alam

Mohon Maaf…ada yang bisa saya bantu?

Semangat itu laksana matahari yang mengatakan cintanya,
Dan purnama yang mengukirkan huruf-huruf dalam cahanya
DR. ’AIDH al-Qarni

“Mohon Maaf, bisa ibu menunggu 5 menit lagi?” begitu yang dikatakan salah satu karyawan toko buku sewaktu ditanyakan salah satu judul buku. Tak lama kemudian,ia membawa saya ke salah satu rak buku yang berisi buku-buku marketing. Sambil matanya mencari ke bagian atas rak. Tiba-tiba matanya berbinar senang karena telah menemukan buku yang saya maksud. Lega sekali menemukan buku baru yang sudah diimpi-impikan.
Beberapa hari setelah itu, salah satu team marketing Hermawan Kertajaya datang memberikan materi ’service excellence’ untuk para karyawan Paviliun Rumah Sakit Ibu dan Anak Zainab. Sejak selesai pelatihan, kata-kata yang paling sering terdengar dari para staf adalah kata ’maaf’. ”Maaf ibu, apa yang bisa saya bantu?” atau mengatakan ”Maaf, saya mau makan siang dulu” . Ada juga yang mengatakan ”mohon maaf pak, ruangan ini hanya untuk staf”. Saya jadi bingung dengan banjirnya kata ’maaf’. Mungkin karena telinga melayu ini tidak biasa dengan kesantunan yang lembut. Sewaktu ke Surabaya, porlep yang menawarkan diri di bandara juga mengejutkan dengan kata-kata ’maaf bu, tasnya bisa saya bawakan?’. Saya juga jadi penasaran mempraktekkan service execellence untuk anak-anak di rumah. Kalau mereka berlama-lama sarapan, dan hampir terlambat, saya juga mengatakan ”mohon maaf, bisa dipercepat sarapannya? Sudah hampir jam 7 pagi” lalu saya katakan lagi sewaktu mereka mau tidur ’mohon maaf, sudah jam 9, susu belum diminum dan belum shalat isya, bisa kita selesaikan kegiatannya?’. Kedua anak saya menunjukkan ekspresi heran dan aneh. Biasanya ada kata-kata ’ibu hitung sampai 20, susu sudah selesai diminum!’.
Susah juga membiasakan kata ’maaf’ di awal kalimat. Tapi oke juga dipraktekkan untuk terapi tempramen keras saya yang penuh dengan deadline dan target. Rasanya seperti menjadi orang lain. Kalau memang sarang ibu-ibu adalah rumahnya, kenapa ’service excelence’ hanya dilakukan di kantor dan hanya untuk customer (pelanggan). Lebih asyikkan, kalau dipraktekkan dengan orang-orang yang jelas-jelas memberikan kontribusi masuk surga, misalnya ke suami dan anak-anak. Mereka juga ‘my best customer’. Amanah tertinggi. Sepertinya ’service excelence’ di rumah malah membuat semuanya nyaman. Karena penekanannya ’for your own good’, untuk kebaikannya sendiri. Jadi lebih mudah untuk membentuk kebiasaan kalau awalnya dari diri angota keluarga. Tidak pakai cara ngebos lagi, ‘you have to do this, you have to do that’.
Dalam acara ‘Pelayanan Prima’ untuk keluarga bahagia menjadi tema materi untuk ibu-ibu di Kantor Walikota juga minggu lalu. Tetapi lebih banyak mengenai komunikasi dan pelayanan seksual yang prima untuk suami. Saya dan teman-teman dokter sebagai pemateri juga mencoba untuk beorientasi pada pendengar atau audiens. Tidak menggurui dan jadi si maha tahu. Tentusaja sulit untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para suami saat hati dilanda stres, kehilangan romantisme karena rutinitas dan penghasilan melampaui sang suami. Hanya saja service excelence untuk keluarga bukan orientasi pada meningkatnya pendapatan perusahaan, tetapi lebih pada keinginan membahagiakan orang lain. Apalagi dalam keluarga, cinta dan service excelencenya berbuah surga. Wallahua’lam.

FASE
Surat ibu, tanggal 20 November 2003
Nanda.... ibu tak bisa mendampingimu saat kau tumbuh. Skenario perjalanan keluarga ini untuk bersatu hanya dalam waktu singkat. Mungkin perkawinan ini hanya media untuk melahirkan 2 pahlawan ibu. Nanda dan kakakmu. Dari ibu.

Nanda tersenyum. Pahlawan? Inginnya Nanda menjadi pahlawan. Ibu mungkin benar. Karena meratapi sesuatu yang terjadi dan menuding salah orang lain sama sekali tidak berguna. Setelah dia menjadi dewasa seperti saat ini, nanda baru menyadari, ibu semakin tua. Jadi lebih bijak. Padahal dulu, dia sering merasa orang paling malang di dunia. Sehingga Nanda menjadi bosan dengan kalimat-kalimat ibu yang selalu menggambarkan ayahnya seperti monster tak berperasaan. Akibatnya setiap bertemu ayah, Nanda sering berkhayal, ayah mempunyai taring seperti drakula, suka menghisap darah. Tetapi cepat-cepat ditepisnya, tidak sopan.

Surat ibu, tanggal 20 April 2004
Nanda sayang.... pohon di depan rumah ibu sama dengan usiamu. Dulu, plasenta dan tali pusar kita ditanam di dekat akarnya satu hari setelah kamu lahir. Ibu senang pohon flamboyan itu kalau sedang berbunga. Seperti nanda sedang bercerita di depan ibu dengan mata yang sangat ekpresif. Ingin sekali ibu mengatakan sesuatu, pahlawan yang keluar dari rahim ibu telah mulai berkarya dengan tulisannya. Tapi ibu sedih sewaktu nanda mengatakan untuk mendapatkan kasih sayang orang lain kita harus berkarya sebanyak-banyaknya. Apakah memang benar begitu? Karya dihasilkan karena memang datang dari dirimu. Dia akan terbit dari fikiran dan hati yang jernih. Mengalir tanpa batas. Keterpaksaan akan menghentikannya. Dari ibu.

Kali ini nanda menangis. Dia ingin menangis sepuas-puasnya. Nanda sangat menikmati tangisan. Baginya, airmata seperti sebuah saputangan. Mengelap hatinya menjadi bersih. Tetapi tangisan juga membuatnya akrab dengan Sang Maha Kekasih. Sehingga sering dia menganggap airmata memang diciptakan untuk media kelembutan hati. Nanda suka dengan catatan kecil dan surat dari ibu. Keletihan hati seperti terjawab. Dan selalu saja surat ibu membuat jiwanya hidup dan bermakna. Bahkan flamboyanpun bagi ibu dapat berbicara. Seakan-akan dia sudah memperkirakan, keluarganya tidak akan utuh, ibu membiarkan akar flamboyan bersatu dengan plasenta dan tali pusar nanda. Nanda tersenyum, membayangkan bunga flamboyan berwarna oren bagi ibu seperti nanda. Mata yang ekspresif. Lirih nanda berkata, ’ibu....’

Surat ibu, tanggal 20 Agustus 2004
Nanda.....tadi ibu menyaksikan film kartun ’chicken little’. Jangan heran. Tidak sengaja sewaktu memilih siaran. Kalau bisa nanda nonton juga ya nak. Ada ’sesuatu’ disana. Juga kalau bisa nanda juga nonton film ’The Last Samurai’. Perhatikan baik-baik dialognya. Ibu selalu ingat Nanda setiap melihat percakapan yang sarat makna. Nanda kan suka puisi, jadi ibu memahami jiwamu yang sering berkelana. Nanda sering menyebutnya ’spiritual journey’ dalam surat-surat Nanda. Ibu juga jadi ikut rajin menyimak ’dialog bermakna’ yang penuh filosofis itu. Lama-lama ibu makin memahami jiwamu. Walau kita tidak bertumbuh bersama saat nanda berproses menjadi manusia dewasa. Tetapi ibu ingin ikut bersama dalam proses nanda bertumbuh saat ini. Proses bertumbuh yang Nanda sebut dengan ber ’metamorfosis’. Ibu juga ingin kita sama-sama bermetamorfosis. Walau usia kita terpaut jauh. Bukankah Nanda mengatakan Sang Maha Kekasih akan melihat kita pada akhir usianya seperti apa. Bukan pada awalnya. Kata-kata Nanda membuat ibu bersemangat. Terimakasih nak...bahagianya ibu memiliki seorang pahlawan yang tak lelah membuka mata hati ibu....


Nanda sebenarnya tidak tahu pasti apakah nanda yang membuka mata hati ibu atau malah sebaliknya. Karena setiap menerima surat ibu, Nanda merasa diingatkan kembali. Mungkin masalah ’siapa’nya tidak penting. Bukankah hati manusia sangat dinamis, sehingga perlu ada kata ’saling’. Kadang kata-kata ibu justru seperti ingin memberi semangat sewaktu Nanda sedang lara. Nanda malah sering lelah dan nyaris melupakan dia pernah berkata bijak dan penuh kearifan pada ibu. Mungkin ibu menangkap rasa letih itu pada kata-kata dalam surat Nanda. Kemudian ibu membuka surat yang pernah ditulis dengan penuh bersemangat, agar Nanda ingat bahwa Nanda pernah demikian arif sehingga membuat ibu terkagum-kagum. Mungkin juga ibu menganggap fase bersemangat memang sedang dalam giliran perasaan Nanda, sebagaimana juga fase lara. Tetapi sepertinya ibu lebih suka Nanda bersemangat. Karena sering, setiap Nanda bersemangat selalu ada karya yang muncul. Ada aura positif. Memberikan lingkaran pengaruh pada orang lain. Banyak terjadi perubahan.

Sebagaimana saran ibu, Nanda berusaha mencari CD Chicken Little. Menikmati di waktu luang. ‘Today is a New Day’ kata chicken litle. Nanda sampai menonton dua kali. Malahan setiap perasaannya sedang dalam kondisi terendah, dia kembali termotivasi. Ibu sekarang lebih jeli melihat hal-hal yang dapat membuat Nanda bersemangat. Kenapa ibu tahu? Bukankah kami tidak pernah tumbuh bersama? Tetapi Nanda semakin memahami, akhir-akhir ini ibu memang banyak menikmati tulisan Nanda. Dalam satu bulan Nanda pernah menulis sangat banyak. Sebetulnya kebiasaan Nanda adalah menulis pada buku harian yang telah menemaninya sejak Sekolah Dasar. Tetapi Nanda memutuskan untuk mengirimkan juga pada ibu tulisan-tulisannya pada Diary. Pertama karena ingin memperbaiki kepingan kenangan yang selama ini kosong. Seperti sebuah puzzle yang tak utuh. Karena dia selalu menepis kenangan yang tidak enak. Tetapi Nanda ingin berani menghadapi perasaan yang paling sakit sekalipun. Mungkin jika ibu mengenal Nanda, Nanda telah berbuat sesuatu pada ibu. Sebuah pencerahan. Kedua, Nanda ingin melakukan sesuatu yang bernilai pada Sang Maha Kekasih. Begitulah komitmen Nanda. Nanda ingat kata-kata bijak bahwa ’puncak cinta seseorang pada yang dicintainya adalah mencintai apa yang dicintai oleh kekasihnya’. Nanda tau bahwa seorang ibu harus dihormati. Demikian perintah Sang Maha Kekasih. Sewaktu Nanda masih mahasiswa, sering ia marah, ’Wahai Maha Kekasih, ibu yang bagaimana yang harus aku perlakukan dengan baik? Apakah ibu yang tak memiliki rasa rindu, tak pernah khawatir dan membiarkan aku seperti rumput liar?’ Tapi kebencian tak memberikan jawaban. Nanda akhirnya mengajak bersahabat saja rasa marah itu. Dia tidak lagi memvonis siapapun. Tidak juga ayahnya. Buat apa? Menghabiskan energi karya. Padahal kalau dia menulis, atau memberikan training, rasa marah itu bisa menjadi tenaga 4 jam terus menerus memberikan materi dengan penuh warna. Mengerahkan emosi yang terbaik sehingga pendengar terkesima. Memindahkan energi motivasi dan harapan. Sejak dia bisa mengalahkan kebencian, akhirnya Nanda semakin bisa bersahabat dengan ibu. Nanda merasa hidupnya lebih tenang. Apalagi ibu memutuskan untuk ikut bermetamorfosis bersama Nanda. Malahan ibu lebih konsisten dan arif. Mungkin karena ibu sudah kenyang dengan pengalaman. Mungkin juga karena telah dimatangkan usia, ibu sudah bersatu dengan masalah-masalahnya. Sebagaimana bersatunya sel darah merah dengan oksigen.

Surat ibu, 20
Desember 2006
Nanda sayang, kemarin ibu bertemu dengan seorang wanita. Dia seusia ibu. Dia mengatakan sangat kesepian di usia senja. Malahan tulang-tulangnya mulai sakit. Terutama sewaktu bangun tidur. Dia juga mengeluh masalah anak-anak yang jarang mengunjunginya. Kasian ya Nanda. Ibu jadi ingat surat Nanda, bahwa setiap orang diberi oleh Sang Maha Kekasih persoalan-persoalan untuk mematangkan jiwa. Persoalan hanyalah ‘tools’ atau alat untuk menjelma menjadi sesuatu yang baru. Mau jadi kupu-kupu yang cantik berwarna-warni atau menjadi ulat selamanya karena tidak suka dengan lorong yang sempit pada kepompong. Ibu suka dengan perumpamaan itu. Ibu juga suka, sewaktu Nanda mengatakan Nanda mengimpikan semua wanita di dunia ini bisa bahagia dalam persoalannya. Berapapun usia wanita tersebut. Dalam surat Nanda setahun yang lalu, Nanda mengatakan’ Wanita adalah guru dunia, jika kita baik, baik pulalah keluarga kita. Di atas fondasi itulah dibangun perbaikan bangsa secara menyeluruh.’


Apa ya yang sedang ibu lakukan. Nanda mencoba bertanya dalam hati. Tidak lama kemudian Nanda perlahan berjalan menuju jembatan. Saat ini Nanda sedang berada di Venecia. Menyaksikan burung merpati yang beterbangan. Menyaksikan laut yang terhampar. Dia telah sampai di cafe luas terbuka, menikmati suara piano dan biola. Subhanallah, indahnya. Nanda memesan minuman kopi panas, menghirup perlahan. Dia sangat suka mengabadikan peristiwa ini dengan sebuah tulisan. Dengan cepat Nanda menuliskan perasaannya pada Diary tercinta, mencoba menyelesaikan novel fiksi ilmiah yang ditulisnya. Nanda sudah hampir 4 jam berada di sana. Dia berjalan perlahan menyusuri jalan-jalan kota di atas air. Nanda melihat kaca berwarna yang diukir dengan cantik. Dia membeli kaca berbentuk pohon flamboyan, berbunga oren. ’Pasti ibu suka’, fikir Nanda. Kepergian Nanda kali ini untuk bertemu dengan

Tabiat dari Kehidupan

Betapa banyak solusi datang
Setelah keputusasaan
Dan betapa banyak kebahagian datang
Setelah kesengsaraan
Nikmati dan bersenang-senanglah
Karna setiap sesuatu akan ada akhirnya
Sebagaimana ia juga ada pada awalnya
Dr. A’idh Al-Qarni


Saya memandang ke kertas yang di tempel di dinding kamar. Untuk mengembalikan tenaga tertulis disana, 1. menyendiri, 2. refleksi diri, 3. melakukan perjalanan, dan 4. penjadwalan kembali. Supaya ada keteraturan alur berfikir, saya sengaja membuat ringkasan ‘Model manusia abad 21’ menjadi 2 lembar, saya upayakan terlihat setiap hari. Bagi pengelola pendidikan, kegiatan terberat adalah di bulan-bulan terakhir ini - menerima siswa dan mahasiswa baru dan mempersiapkan fasilitas belajar.
Mulai usia playgroup sampai mahasiswa. Sangat memerlukan kesabaran dan ketahanan fisik. Tapi profesi ini sangat saya cintai sampai ke sel-sel darah. Hanya mengelola, mendidik, mengajar dan belajar. Indah, bukan. Walaupun demikian tenaga dan pemikiran yang dikerahkan selama lebih 5 bulan perlu kembali dipulihkan dengan 4 hal di atas. Target-target yang dibuat dengan mind mapping metode Toni Buzan tahun lalu hanya 70% yang tercapai. Bagi saya keberhasilan bukan sekedar jumlah siswa yang membludak mendafar, tetapi lebih kepada keberhasilan memproses mereka dalam ‘pabrik’ lembaga yang kita dirikan.
Tetapi pada saat kita merasa berat dan memiliki target, ada saatnya kita perlu mengelola untuk ‘tidak merasa tertekan’ dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Saya tertarik dengan pemikiran A’idh Al-Qarni, dalam menyikapi suatu masalah atau keinginan yang tidak terpenuhi, dianggap sebagai tabiat dari kehidupan ‘Tidak ada yang bahagia selamanya dalam hidup ini.’ Setiap orang mempunyai jatah, baik berupa penderitaan, kesedihan, kebahagian, kesenangan. Dirinya tidak pernah merasa kaget atau bersedih dan dalam keadaan apapun dia tidak pernah merasa tertekan dan tersiksa.
Saya coba menghubungkan model manusia muslim abad 21 yang tertempel di dinding dengan pandangan Al-Qarni kemudian melihat “mind mapping” atau pemetaan yang saya buat dan target-target yang tercapai 70%. Semua proses menuju target itu memang harus kita jalani mengikuti tabiat kehidupan. Tidak semua berhasil. Ada tangisan disana. Ada tertawa. Ada terluka. Ada bahagia. Penuh warna seperti pelangi yang muncul setelah hujan menerpa sinar matahari.
Fariduddin Attar, seorang sufi dari Naisyaburi bertutur: Rendah hatilah dan tirulah sifat diamnya emas. Dengan sabar, melangkahlah di jalan itu. Nanti datang padamu buah kesabaran. Kunci emas yang akan membuka gerbang. Pikirkan Tuhan dengan sabar. Maka kaupun akan menemukan-Nya di hakikatmu. Wallahua’lam

Setiap Wanita Berhak Bahagia Selamanya

Ada di fase manakah anda berada sekarang sebagai wanita? Usia 20, 30, 40, 50, 60? Benarkah saat berusia 20 tahun memang lebih bahagia dari pada usia saat ini. Berada di depan kaca mulai menghitung jumlah kerutan, lemak di sana sini. Atau kesepian karena anak-anak sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Seringkali terasa kesepian, kesedihan dan merasa hampa.
Ada di usia 30? Anak-anak masih balita. Penghasilan suami masih pas-pasan. Rumah masih ngontrak atau tinggal dengan mertua. Tapi benarkah situasi ini wanita tidak berbahagia karena begitu repotnya dengan anak-anak dan mengatur ekonomi yag pas-pasan?
Sekarang usia sudah 40, karir semakin membaik. Status sosial sudah meningkat. Sudah punya rumah sendiri. Kebutuhan dasar (basicneed) sudah terpenuhi. Sudah mulai ada jadwal liburan ke negara tetangga, walaupun masih pakai ferry. Kehidupan sosial juga sudah punya ’kelas’. Tapi sudah mulai ada beberapa perubahan pada fisik. Sudah semakin matang. Tapi apakah wanita tadi sudah bahagia pada situasi saat ini?
Waktu terus beranjak, tidak terasa usia mulai mencapai 50 tahun. Hormon estrogen mulai menurun. Rambut sudah memutih. Terasa emosi semakin sensitif. Kondisi tubuh juga agak cepat lelah kalau aktifitas tinggi. Suami semakin sibuk, urusan semakin banyak. Sehingga waktu untuk bertanya perasaan pun sudah tak sempat lagi. Kegiatan hubungan intim semakin jarang. Tetapi benarkah situasi ini membuat wanita tadi tidak bahagia?
Sekarang sudah memasuki usia pensiun 60 tahun. Tua. Semakin ringkih. Mulai merasa tidak berguna. Sudah duduk di belakang kalau ada undangan, atau kalau suaminya sangat besar pendapatan dan membangun ketokohan duduknya di depan juga tapi hanya sekedar penghormatan pada sesepuh. Basa basi. Tetapi apakah wanita tadi sudah demikian tidak bahagianya karena fisik, status siosial sudah menurun?
Singkatnya satu dekade berlalu. 10 tahun seperti selayang pandang. Rasanya saya baru ikut tes Perguruan Tinggi, melonjak kegirangan karena lulus masuk kedokteran. Ternyata waktu itu telah berlalu 18 tahun yang lalu. Kalau saya sudah menikah saat itu, sekarang sudah hampir punya menantu. Semakin bertambah umur, semakin kita bertanya siapa dan apa yang bisa membuat kita tersenyum dan bersemangat. Apa yang membuat kita tertekan, merasa kesal dan muak. Kepada apa kita bersandar untuk sebuah perasaan bahagia. Kepada orang, status sosial, warisan, anak dan sebagainya. Apa betul kebahagiaan kita bisa didikte lingkungan? Apa betul kita terus menerus memakai topeng untuk mengatakan pura-pura bahagia? Jauh di dasar hati, anda harus jujur.Kalau memang terobsesi dengan uang dan jabatan maka kejarlah sampai terpuaskan tak terhingga. Kalau mengejar kepuasan seksual, kejarlah sampai terpuaskan. Semua nafsu hewani, syahwat yang tak bisa dikekang ntah sampai kapan. Carilah budak-budak yang siap untuk dijadikan ’tools’ untuk kepuasan tadi. Budak-budak yang dangkal tak berjiwa. Petanyaannya adalah ’sampai kapan’? Sampai mana hormon estrogen, hormon testosteron, fisik akan menjadi andalan mengejar kebahagiaan dan sumber inspirasi untuk berkarya.. Setiap wanita berhak menikmati kebahagiaan sepanjang masa pada setiap fase hidupnya tanpa bersandar pada apapun termasuk pada syahwat. Karena kita bukanlah binatang tetapi diciptakan sebagai manusia terhormat yang dimuliakan Allah menjadi pemimpin di muka bumi .Wallahu’alam.

Sepatu Usang di Sudut Ruangan

“Hanya kecoa yang tidak mau berubah”. Peserta seminar yang hadir tertawa mendengar komentar pembicara dalam sebuah seminar. “Apa yang akan saya alami kalau saya berubah? Terlalu riskan, tidak mungkin, melelahkan.” Terdengar suara berbisik dari arah belakang. “Saya gini-gini pun cukuplah, malas pening-pening, asalkan gaji tak berkurang gara-gara perubahan ni” kata seorang bapak yang duduk bersandar . Tema seminar tentang perubahan itu membuat berbagai reaksi peserta seminar. Tapi kebanyakan belum paham betul, karena memang program hari itu hanya mengajak peserta seminar untuk melihat, ‘kenapa perlu melakukan perubahan’. Belum mengajak bergerak, apalagi menyelesaikan perubahan. Jadi wajar saja kalau peserta ada yang antusias, dingin, tidak peduli, sesuai dengan karakter masing-masing. Tetapi kalau seminar tadi pesertanya lebih 50% tipe sepatu usang, rasanya akan banyak sekali tantangan menyambut sebuah perubahan ini.
Dalam buku ‘Change’ Rhenald Kasali, sepatu usang di sudut ruangan sebagai perumpamaan. Ia ada disana sepanjang hari, anda selalu melihatnya, namun anda merasakan kehadirannya biasa saja. Ntah berapa lama sepatu sudah berada disana, kita bahkan tidak menyadari keberadaaannya. Seperti menjalani sebuah rutinitas, karena kita tidak pernah melakukan pembaharuan dan perubahan, keberadaan kita seperti sepatu usang bagi orang lain. Tidak memberi makna. Statis dan membosankan. Sepatu usang bisa berupa manusia atau berupa peraturan yang sudah basi. Bisa juga sebuah metode pengajaran yang membosankan mahasiswa. Tidak menggigit dan penuh ‘surprise’.Garing kata orang Sunda. Salah satu tokoh dalam buku “Who moved my Cheese”, bersikap seperti si sepatu usang yang bertahan tidak mau keluar dari kebiasaan lama, walaupun persediaan keju sudah habis. Biarlah dia kelaparan daripada mencoba cara baru mencari keju di luar sana. Tidak mau keluar dari zona nyaman. Bahkan orang yang bersikap seperti sepatu usang ini, bila dia orang bekerja, maka jangan mencoba untuk menambah kesibukan di luar rutinitas yang ia lakukan sehari-hari. Akan terjadi kepanikan. Stephen Covey malahan menganjurkan lebih baik memberi tanggungjawab baru pada orang yang sibuk, karena dia lebih bijak mengatur waktu dan terbiasa diberi beban.
Walaupun perubahan memberikan banyak ketakutan, sekaligus harapan, tatapi perubahan bagaikan suatu oksigen di dalam sebuah lembaga atau individu. Mungkin kita bertemu dengan orang statis dan apatis seperti sepatu usang tadi. Tetapi cepat atau lambat dengan keadaan sekarang, perusahaan atau individu yang tidak suka dengan perubahan itu akan diseleksi oleh keadaan. Dengan kata lain tereliminir oleh sistem. Perubahan disini tentusaja maksudnya menuju profesionalitas dalam setiap peran yang kita lakoni saat ini. Tidak termasuk di dalamnya perubahan modern berkedok globalisasi seperti menerbitkan majalah Play Boy versi Indonesia. Perubahan yang kita maksudkan adalah perubahan bernas yang bermanfaat bagi orang lain tentunya. Bukan perubahan semu tanpa substansi yang jelas kecuali profit. Wallahua’lam.

Remaja Korban Perceraian

Beberapa remaja yang punya kelakuan overacting di sekolah atau di kampus sering datang dari keluarga yang kurang sehat. Tetapi selalu juga menjadi kambing hitam remaja untuk punya perilaku miring. Kasar, bebas, semau gue. Bisa juga jadi super pendiam dan misterius, tertutup. Seperti apa sih sebetulnya perasaan para remaja tadi. Dalam buku ‘The Divorce Helpbook for Teens” yang dikarang oleh Cynthia MacGregor diungkapkan bagaimana kiat-kiat remaja di California menghadapi perceraian orangtuanya. Tetapi dalam buku itu penulis tidak menyelam lebih dalam perasaan luka, sepi, merasa terabaikan, rasa terasing dan marah yang harus ditekan sedalam-dalamnya. Kenyataannya, perasaan tadi akhirnya berbaur menjelma suatu sikap yang bermacam-macam. Bisa menjadi perfeksionis atau malah serampangan dan seenaknya. Anak-anak yang dibesarkan dengan perasaan tidak puas, tentu harus kerja keras mengatasi perasaan galaunya agar tetap terlihat normal seperti teman-teman yang lain.
Dalam buku yang lain dan telah menjadi best seller , berjudul ‘A Child Called “It” yang ditulis berdasarkan kisah nyata Dave Pelzer. Peristiwa dahsyat yang dialami Dave, membuat buku itu menjadi lebih kuat karena dialami langsung oleh pengarangnya sehingga tidak terkesan kering makna. Perjalanan panjang seorang anak mencari kehangatan cinta keluarga. Walaupun telah disakiti ibunya sedemikian rupa secara fisik dan emosional, David tetap mampu bertahanan dan sukses sebagai pilot Angkatan Udara dan oleh karena prestasi-prestasinya, ia mendapat penghargaan dari dua Presiden Amerika dan menerima penghargaan TOYA (Ten Outstanding Young American).
Seandainya anak kita atau keponakan atau siapa saja yang ada disekitar kita sebagai korban perceraian. Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin tahap awal adalah memberi pemahaman bahwa orangtua mereka adalah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan. Juga menerima bahwa justru apabila mereka bersama, maka keadaan akan lebih buruk jika mereka bertengkar terus menerus dihadapan anak. Juga memberi pemahaman bahwa apapun di dunia ini yang terjadi, kita sebagai manusia adalah individu yang tetap harus hidup, tumbuh dan bertahan. Orangtua hanyalah orang yang diamanahkan untuk menjaga kita sampai mandiri. Tetapi bisa saja, untuk orang tertentu amanah menjaga kita adalah oranglain, bisa nenek, tante atau orangtua tunggal atau orangtua asuh. Perasaan anak-anak akan semakin sensitif kalau umurnya semakin bertambah, terutama setelah mereka remaja. Banyak pertanyaan yang sebaiknya dipersiapkan oleh orangtua. Kadang-kadang mereka menanyakan kenapa sampai orangtua bercerai. Kenapa tidak sabar. Kenapa membuat keputusan egois yang merugikan dirinya. Seringkali jawaban orangtua berlainan. Malahan masing-masing membela diri, bahwa dialah sebenarnya korban dari sikap ayah atau ibunya sehingga terjadi perceraian. Yang jelas, anak tidak pernah suka jika seorang ibu menghina, memojokkan atau menyalahkan ayahnya, terutama dihadapan oranglain, begitu juga sebaliknya. Sikap positif dan dukungan orangtua sangat diperlukan untuk membantu anak agar mamandang dunia ini tidak dengan sinis dan permusuhan. Wallahua’lam.

Peran Masyarakat Kota Pekanbaru Dalam Memilih Pemimpinnya

Kota Pekanbaru yang awalnya pada masa lalu bernama Payung Sekaki. Sebuah dusun kecil yang terletak di pinggiran Sungai Siak. Nama Senapelan juga menjadi nama lain desa kecil ini. Kemudian pada tanggal 23 Juni 1784, desa ini berkembang pesat setelah lokasi pasar (pekan) lama pindah ke seberang. Akhirnya nama kota Pekanbaru menjadi abadi sampai sekarang. Kota kita yang seluas 632,26 km persegi ini, berhampiran dengan Povinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Provinsi Jambi. Kota bertuah memang tengah berkembang pesat. Sektor keuangan dan perdagangan menjadi kontributor terbesar. Diikuti dengan usaha industri pengolahan. Sebanyak 70. 468 orang memilih bekerja di bidang perdagangan. Dari 12 perusahaan industri besar yang ada, menyerap 9.457 tenaga kerja. Banyak perusahaan besar berkiprah disini.

Sesuai namanya, Pekanbaru yang berarti pasar baru, di masa depan diharapkan akan menjadi kota jasa yang punya pengaruh besar, tidak saja bagi kota-kota di Sumatera tetapi juga negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Untuk mengantarkan kota ini menjadi kota yang representatif sebagai kota yang dibanggakan, tentu saja diperlukan karakter kepemimpinan yang kokoh dan solid. Pemimpin dan daya dukung orang-orang disekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang dirujuk orang lain ketika misi harus di tegakkan, membuat terobosan-terobosan, dan mencapai tujuan-tujuan secara tepat waktu dalam anggaran yang terbatas.


Kota Pekanbaru Saat Ini

Kepadatan penduduk per-kilometer menurut kabupaten/kota menunjukkan bahwa kota Pekanbaru menempati urutan tertinggi di Riau yaitu 1311,18 per km persegi. Sensus pada tahun 2003, menunjukkan jumlah penduduk kota Pekanbaru sebanyak 693.912 orang. Dengan distribusi jumlah penduduk usia produktif 15-49 tahun berjumlah 431.250 orang. Dari data The National Labor Force Survey 2004, angkatan kerja sebanyak 199.339 orang. Dari angka tersebut, 175,909 orang telah bekerja dan sebanyak 23. 430 sedang mencari pekerjaan atau menganggur. Tentu kalau diurut satu persatu, permasalahan yang dihadapi Pekanbaru tidaklah sedikit. Tingkat kriminal yang tinggi, kasus narkoba, dan perumahan liar yang merebak. Juga banjir yang masih melanda. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di kota Pekanbaru mencapai 10,91% atau 76. 841 orang, dimana yang terbanyak ada pada Kecamatan Tenayan Raya, yaitu sebanyak 14.100 orang dan di Kecamatan Rumbai 9.394 orang. Sementara jumlah anak yang tidak bersekolah 3.401 orang, 1.938 diantaranya adalah anak wanita. Presentasi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak pernah sekolah pada tahun 2003 sebanyak 0,45%, dan yang tidak bersekolah lagi pada tahun 2003 sejumlah 74,16% (Pusat Data & Informasi Perempuan Riau).

Data-data di atas menggambarkan seriusnya masalah kota Pekanbaru, terutama dalam masalah kemiskinan dan kebodohan. Padahal kita berada pada ibu kota Propinsi, yang semestinya sangat dekat dengan pusat kekuasaan dan penentu kebijakan. Dimana letak permasalahan sebenarnya?

Kota seperti apa yang kita inginkan

Kemajuan bukan hanya sebuah simbol-simbol. Tetapi suatu realitas penyelesaian masalah yang terstruktur dengan jelas. Prioritas bukan pada penegasan bahwa kota ini kota melayu saja. Tapi lebih dari itu. Seorang pemimpin yang diharapkan adalah sebuah konsistensi yang jelas dalam membuat skala prioritas. Masyarakat memerlukan tindakan yang nyata. Bukan yang seolah-olah real atau semu. Simbol Melayu yang kita junjung tinggi, dengan pakaian atau bentuk bangunan dan warna kota apakah memberi suatu perubahan sikap masyarakat. Apakah simbol tadi memberi pengaruh positif dalam pola fikir masyarakat, atau budaya menjadi prioritas mengalahkan isu yang lebih urgent. Karena kita sudah sepakat bahwa musuh terbesar saat ini adalah kebodohan dan kemiskinan. Kebodohan kita sudah sampai pada level yang mencemaskan jiwa. Angka Riau 65 % penduduknya berpendidikan Sekolah Dasar sudah menjadi cambuk yang tajam. Kalau kita memang bagian dari sistem di propinsi dan kota ini, tentu kerisauan tadi diikuti langkah konkrit. Program perencanaan pembangunan yang tidak jelas membuat kita menjadi bahan tertawaan propinsi lain, bahkan dunia. Apalagi termasuk dalam 4 propinsi terkaya di Indonesia.

Bahkan sebuah negara yang sangat melayu seperti Malaysia berani menegaskan heterogenitasnya dengan mengatakan dirinya ’truly asia’. Tetapi Badawi menaikkan thema ’mari membaca’ sebagai jargon utama membangun image bangsa yang berpendidikan. Penekanan atau stressing yang diungkapkan oleh sang pemimpin akan mencerminkan apa yang akan menjadi skala prioritas dan paradigma berfikir sang pemimpin. Tentu saja jargon utama tadi akan menentukan bentuk-bentuk kebijakan yang diambil. Masyarakat yang tetap menjunjung tinggi budaya tetapi bermarwah karena disandingkan dengan ilmu dan pendidikan yang membuatnya terhormat. Manusia konsisten yang sangat memahami mengapa dia dihadirkan oleh Allah SWT di muka bumi ini dengan konsekwensi memegang amanah yang agung dan bermartabat..

Ada di dalam tulisan Yusuf Qardhawy yang berjudul ’Umat Islam Menyongsong Abad ke-21’ mengatakan ’Kita lihat negara maju terbesar di dunia, sejak beberapa tahun lalu, membuka pintu untuk autokritik terhadap sistem pendidikannnya. Amerika meminta agar orang-orang Jepang mengkritik sistem pendidikannya. Mereka menemukan titik kelemahannya sekaligus memberikan saran-saran penyelesaiannya. Sementara kita tenang-tenang saja dengan kondisi kita, membiarkan kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya, seakan-akan ia dalam kondisinya yang terbaik.’

Autokritik memang jauh lebih efektif dari pada mendengar kritik. Sistem pendidikan Amerika yang sudah sangat maju (kita anggap), masih perlu pendapat lain dari negara lain yang justru dari negara yang selama ini dianggap Amerika sebagai kompetitor utama dalam industri dan perekonomian. Berbeda dengan orang Indonesia, kita lebih suka main di permukaan, rasa puas diri yang berlebihan, mengagumi diri dengan karya-karya yang tak seberapa. Selalu lupa, bahwa karya nyata, tidak dapat diatasi dengan seremonial dan anugerah. Kita tetap memiliki masyarakat yang profesional dan dianugerahi kemampuan berfikir dan menganalisa kinerja seorang pemimpin. Mereka mungkin tidak banyak bicara, menghakimi, mengadakan demonstrasi atau memaki dalam tulisan-tulisan tajam. Hanya saja timbul pertanyaan – kita ingin dikenang sebagai apa? Tapi yang jelas, manusia profesional atau rakyat jelata tidak hanya terdiri atas sekumpulan tulang, daging, dan darah – di dalam jasadnya ada jiwa dan ruh yang dapat merasakan apa yang telah dilakukan sang pemimpin terhadap diri dan masyarakatnya.

Kota yang kita inginkan, bukan sebatas dipercantik dengan asesori. Terlihat indah dari luar. Kita menginginkan masalah diatasi secara substansi. Masalah kebodohan, korupsi, kerumitan birokrasi, kemiskinan, banjir, mafia-mafia terlindungi saling mengamankan dan sebagainya – dengan kata lain ada sebuah perbaikan yang jelas terlihat dan dapat dirasakan, perubahan ke arah yang lebih baik. Seorang pemimpin yang mampu memaksa dirinya untuk jadi pemenang , siap untuk tidak disenangi dan tidak populis dikalangan birokrat karena membuat perubahan pada kota Pekanbaru dan masyarakatnya yang terencana dan arif tetapi tegas. Ada keberpihakan yang jelas pada rakyat.


Kesadaran masyarakat Pekanbaru dalam menentukan pemimpinnya

Sebagaimana dalam pepatah Jerman mengatakan Aller Anfang ist schwer, memulai sesuatu itu tidak mudah. Perpolitikan di Indonesia, telah berlaku pemilihan langsung dalam memilih pemimpin kepala daerah. One man one vote. Tidak peduli latar belakang pendidikan warga masyarakat Pekanbaru, yang jelas setiap warga kota Pekanbaru yang telah terdaftar mempunyai hak memilih siapa calon pemimpinnya di kota ini. Profesor atau pemulung, tetap mempunyai nilai suara yang sama. Pada saat sistim memilih calon pemimpin dengan langsung, maka menjadi tugas para profesional, akademisi dan warga masyarakat yang berpendidikan tinggi untuk mendidik masyarakat kesadaran akan hak dan kewajiban memilih seorang pemimpin yang mempunyai kompetensi. Pemimpin yang mampu menggerakkan masyarakat banyak dan memiliki kompleksitas permasalahan, ketingkat kemajuan dan kedewasaan baru.

Dengan sendirinya, sebagai bagian dari masyarakat, kita mungkin tidak bisa hanya mengandalkan hati nurani sebagaimana yang dituliskan di spanduk-spanduk kampanye cawako dalam memilih pemimpinnya. Atau mengandalkan perhatian sesaat calon pemimpin pada waktu dia sangat mengharapkan suara kita mendukung. Sehingga saat ini penduduk seperti menuai kebaikan, keramahan, mungkin materi dan perhatian yang berlebihan dari calon pemimpin, berbeda dengan bulan-bulan yang lalu. Sekali lagi pemimpin memperlakukan rakyatnya sebagai kumpulan darah dan daging tanpa jiwa, bahkan –maaf- tanpa otak. Kalau Stephen Covey mengatakan, pendekatan calon pemimpin pada rakyatnya dengan gaya seperti ini, adalah pemimpin bergaya manajemen krisis.

Proses memilih pemimpin dan siapapun yang akan menjadi pemimpin pada saat ini, membuat suatu image bahwa proses menuju kesana seperti suatu proses mencapai tangga-tangga karir sang pemimpin. Bukan tangga mengatasi masalah rakyat yang sebenarnya. Tangga setelah menjadi kepala dinas, tangga setelah menjadi walikota, tangga-tangga yang tidak menyentuh masalah sebenarnya kota Pekanbaru. Kita seperti sedang bermain monopoli, menjadi pemenang atau kalah. Arena yang diciptakan akan menyesuaikan sistem yang berlaku. Kalau kontribusi kita besar terhadap satu komunitas, maka akan diperhitungkan.

Kompleksitas masalah akan terselesaikan oleh orang yang mempunyai kompetensi. Walaubagaimanapun daya dukung sangat menentukan warna kepemimpinan seseorang.
Kita tidak mampu bekerja sendiri. Daya dukung akan memberi warna keputusan-keputusan yang akan diambil. Siapa orang-orang yang ada disekitar sang pemimpin, yang akan memberikan pandangan-pandangan dan ikut memberikan pertimbangan dalam membuat sebuah kebijakan. Orientasinya bukan pada figur atau individu sang pemimpin. Tetapi lebih jelas pada program, cerdas pelaksanaan , konsistensi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sekali lagi, bukan pada simbol, tetapi pada implementasi perbuatan. Bukan retorika seolah-olah.

Mungkin, kondisi bangsa semakin membuat semangat orang-orang di Indonesia sudah susah untuk bangkit. Tentu saja itu juga terasa pada masyarakat di Pekanbaru. Masyarakat lebih cenderung untuk apatis. Kemampuan membedakan antara harga diri dengan perjuangan. Kebutuhan dengan keinginan. Karya dengan prestise. Prioritas dengan kepentingan. Nyaris masyarakat kita tak punya kemampuan membedakan makna kata yang tersirat. Begitu juga dengan sang pemimpin. Terjadi split personality. Pribadi yang pecah. Mana diantaranya yang benar karena banyak wajah yang dipakai sehingga dia sendiri lupa wajah mana sebenarnya yang dimiliki. Atau seperti seorang jompo yang telah menurun kadar hormon yang selama ini membuatnya menggelora. Seperti terseok-seok untuk tetap ingin memilih sang pemimpin. Harapan yang mana lagi yang dapat membuat ketertarikan, semangat dan hasrat untuk kehidupan yang lebih baik. Figur idola yang dapat menggerakkan harapan bahwa calon pemimpin itu seseorang dengan kriteria ideal secara teoritis dalam visi dan misinya. Kemudian nihil dalam implementasi. Atau berlaku suatu keputusan. Jika memang tidak ada lagi yang layak dipilih sebagai pemimpin, kita diberi pilihan kriteria minimal, siapa diantara kandidat itu yang paling sedikit menimbulkan kerusakan atau mudharat pada masyarakat dan kota Pekanbaru.
Selamat memilih.

Pamer Tubuh

Kita semua berputar dalam suatu siklus
Selanjutnya baik yang berharta maupun yang papa kembali ke lubang yang bagian dalamnya beronggga sedang bagian atasnya dilapisi papan yang kokoh

Dalam ilmu psikiatri, ada salah satu kelainan manusia yang suka mempertontonkan bagian tubuhnya. Exhibition. Ekstrimnya, sampai memperlihatkan-maaf- kemaluannya. Dia terpuaskan jika ada orang lain yang menonton bagian tubuhnya. Dalam beberapa majalah yang ingin mengesankan ekslusif dan moderen, model-model majalah tentu tidak memiliki kelainan secara psikologis. Semata-mata, karena menjalani profesi. Mencari nafkah. Dengan pose yang diatur sedemikian rupa, sampai tubuh terkesan berminyak, dan mimik muka yang mengundang untuk dijamah. Kita tidak akan membuat ‘judgement’ atau menghakimi bahwa kita lebih mulia daripada penerbit dan para model tersebut. Apalagi membuat statement bahwa mereka pasti masuk neraka. Karena itu urusan yang akan mengadili. Tetapi sebagai sesama penghuni planet bumi, yang hak dan kewajibannya juga sama tentu kita punya hak untuk bersuara. Setiap buah dari satu perbuatan akan memberikan dampak perbuatan pada manusia yang ada di sekelilingnya.

Walaupun kebutuhan perut tak mengenal kompromi, terutama jika merasa sangat lapar. Tetapi karena manusia memang bergerak dengan jasad, ruh dan fikiran. Bukan dengan instink. Maka tentu manusia memiliki ‘value’, nilai. Kebanggaan pada bentuk tubuh atau mengandalkan jasad sebagai sumber mencari nafkah, tentu bukan terbatas pada bentuk fisik. Sebagai dokter saya kerap melihat fisik menjadi tidak bermakna setelah dia mati. Kemudian karena kebutuhan keilmuan, badan tadi harus dipotong-potong untuk dipelajari. Ternyata jasad hanyalah kumpulan milyaran sel yang berbeda-beda pada setiap lapisan dan organ tubuh.

Kepuasan memamerkan bagian tubuh, bukanlah hanya sekedar menunjukkan kumpulan sel. Ada kata erotisme. Untuk meneruskan zuriyat, keturunan. Ada hasrat untuk pemenuhan kebutuhan yang sudah merupakan anugerah. Tapi, oleh oknum hasrat tadi dieksploitir sedemikian rupa dengan dalih seni. Perempuan, yang semestinya terhormat dan punya ‘value’ menjadi seonggok daging untuk direnungi lama-lama dan menjadikan laki-laki mengangankan adegan rahasia.

Teriakan keras seluruh penduduk yang muak dan jengah tidak mungkin tidak terdengar oleh para oknum tadi. Kita atasi dengan undang-undang, Alhamdulillah. Undang-undang lah harapan kita bahwa kegiatan mengeksploitir tubuh perempuan bisa dihentikan. Masih banyak sebenarnya faktor-faktor lain, biarlah mereka menanyakan pada suara hatinya.Wallahu’alam

Mata yang Bercahaya

Aku tertidur dan mimpi bahwa hidup ini adalah kesenangan.
Aku terbangun dan melihat bahwa hidup ini adalah pengabdian.
Aku bertindak, dan lihatlah, pengabdian memang menyenangkan

Suatu hari saya menghadiri acara drama musik dan penampilan permainan angklung anak saya yang masih kelas 1 Sekolah Dasar di sekolahnya. Beberapa hari sebelumnya dia sudah sibuk menanyakan dengan gaya menguji ’Ibu tau kabaret nggak? ”Apa ya...drama yang ada musiknya, ada nyanyi...?” jawab saya agak ragu .”Betul...padahal ayah nggak tau lho. Kata ayah waktu kemaren muthia tanya, kabaret itu orang nyanyi-nyanyi sambil sandiwara”. ’Ih, kan sama aja jawaban saya dan ayahnya’ fikir saya. Cuma kata drama dan sandiwara. Tetapi seperti biasa, sosok ayah kebanyakan hanya tau ilmu profesionalnya. Jadi jawaban ibu selalu dianggap paling oke dan benar. Sewaktu acara manggung kabaret yang berjudul ’save our earth’ sudah dimulai, dia sudah tersenyum sangat lebar memastikan bahwa ibunya hadir setelah melihat kedatangan saya. Beberapa wajah kecil lain di panggung memanjangkan leher sambil menoleh kiri kanan mencari-cari dimana posisi duduk orangtuanya. Saya senyum-senyum saja. Anak-anak saja butuh pengakuan dan ingin kita menyaksikan aksi panggung atau kabaret yang dibangga-banggakan itu. Cepat-cepat saya silentkan handphone. Berusaha fokus dan melupakan urusan kantor yang tak pernah habis. Waktu yang dikorbankan memang hanya satu jam. Tetapi Insya Allah akan dikenangnya seumur hidup.
Keesokan harinya sebagai penutup thema ’save our earth’, orangtua kembali harus mendengarkan presentasi masing-masing anak. Guru membuat kelompok setiap 3 anak dan 3 orangtua bersama dalam ruangan. Anak-anak digilir satu persatu. Ada tema polusi sampah, polusi air, polusi udara. Masing-masing siap dengan foto yang telah dilekatkan pada stereoform dan komentar mengenai polusi. Pada sesi tanya jawab, salah seorang ayah menanyakan pada anaknya, ’kalau ada pabrik yang buang limbahnya ke sungai, Rara harus melaporkan ke siapa?’ Jawab Rara ringan ’Melaporkan ke ayah’. Kami semua tertawa. ’Kalau sampah banyak lalat, bisa bikin apa nak? ’ Bisa bikin mati’, kata anak saya pelan. Presentasi kali ini, jauh lebih menarik dari pada presentasi apapun yang pernah saya hadiri. Apa adanya. Jujur. Sederhana. Setelah membahas ketiga polusi , sambil membawa hasil karya ’save our earth’ diatas stereoform tadi dengan selogan dan foto mereka, kami pulang. Saya tidak banyak memuji dalam perjalanan pulang. Tetapi hanya memeluk dengan erat sepenuh hati sambil berbisik. ’Ibu akan kasi reward, Muthia hebat presentasi dan hasil karyanya’. Ada senyum dan harga diri yang melambung. Ada mata yang bercahaya. Ada cinta. Siapa yang dapat menggantikan rasa ’bonding’ – ikatan- ibu dan anak seperti ini? Tidak ada yang dapat membeli ketulusan, penghargaan, kepercayaan dan rasa aman antara orangtua dan anak. Kalau anda ingin dikenang sepanjang hayat mereka, mari kita ciptakan setiap detik yang berharga dengan membuat mereka merasa berharga, tak ternilai. Indah, bukan?

‘Menjinakkan’ Hati Anak

Buku The Litle Prince atau Le Petit Prince adalah kisah klasik yang memiliki pesona yang tak lekang oleh waktu dan daya tarik melampaui batas usia dan kebangsaan sehingga menjadikannya buku berbahasa Prancis yang paling banyak diterjemahkan. Dalam pembicaraan antara Rubah dan Prince, Rubah bertutur “Hidupku sangat datar. Aku memburu ayam-ayam, manusia memburuku. Semua ayam itu sama, semua manusia itu sama. Akibatnya aku agak bosan. Tetapi jika kau menjinakkan aku, hari-hariku akan jadi seperti disinar matahari. Aku akan mengenali bunyi langkah kaki yang berbeda daripada bunyi langkah kaki lainnya. Langkah-langkah kaki lain akan membuatku melarikan diri ke dalam kubangku di tanah. Langkah kakimu akan memanggilku keluar, seperti musik”
Mungkin anda pernah menjemput anak ke sekolah atau sewaktu anda sampai di rumah setelah perjalanan jauh. Kita bisa saksikan bagaimana sinar mata anak-anak kita sangat bercahaya menyambut kita dan siap untuk diberikan pelukan. Seluruh orang yang ada di dekatnya menjadi tidak berarti. Hanya kita saja yang menjadi pusat perhatiannya. Saya juga mengalaminya sangat sering, sehingga kegiatan itu menjadi sangat biasa dan rutin saja. Rasanya setiap anak pasti sangat menyayangi ibunya. Itu adalah suatu proses yang biasa. Saya baru menyadari bahwa memiliki perasaan kasih sayang dan kontak mata yang hangat ternyata suatu hal yang sangat mahal. Pada beberapa waktu yang lalu dalam suatu acara, saya menyaksikan anak seorang teman yang autis, tidak bisa membedakan yang mana diantara kami adalah ibunya. Dia hanya tertegun tanpa ekspresi sampai salah satu dari kami berdiri menghampiri. Teman tadi bercerita bagaimana selama 4 tahun ini hidup bersama seorang anak yang autis, yang bahkan mengatakan buang air besar saja tidak mampu. . “Saya pernah bermimpi dan sangat terobsesi anak saya mampu merasakan bahwa saya sangat menyayanginya, ” kata teman tadi dengan mata berlinang.
Lalu saya teringat sewaktu kuliah dulu dengan salah satu keluarga teman yang dikaruniai emosi yang normal tetapi mirip keluarga penderita autis. Suasana di meja makan selau tegang dan hanya terdengar bunyi sendok. Saya sampai takut mengerakkan badan dan menyenggol sesuatu. Kata teman saya, ayah dan ibunya adalah ilmuwan tulen dan dosen yang sangat serius jadi kalau di rumah kita harus ikut aturan yang sudah tertulis rapi dan ditempelkan di kulkas, ruang makan, ruang keluarga dan kamar tidur. Ayahnya juga sangat hemat kata-kata dan sangat jaim (jaga image). Mereka juga sangat jarang berpelukan dan tertawa. Lalu teman saya tadi juga di kelas termasuk mahasiswa yang cukup ceria. Dalam kedokteran, orang yang sulit berekspresi ini sering diistilahkan afek datar. Istilah ini juga sering kami pakai untuk teman-teman yang cantik atau ganteng tetapi tidak ekspresif sehingga jarang ada mahasiswa lain yang jatuh cinta karena memang membosankan
Kalau anak-anak lebih suka curhat dengan tantenya atau ada figur-figur lain untuk mengekspresikan cintanya mungkin kita perlu mengevaluasi pola pergaulan kita dengan anak-anak. Apakah terlalu datar seperti rubah tadi melihat ayam yang diburunya dan manusia yang memburunya karena kita tidak ‘menjinakkan’ hati anak-anak kita? Wallahu’alam.

Memutuskan Pengaruh Generasi Masa Lalu

Suatu kecenderungan yang ada dalam keluarga anda selama beberapa generasi bisa anda hentikan. Anda adalah pesona transisi – sebuah penghubung antara masa lalu dan masa depan dan perubahan anda sendiri bisa mempengaruhi banyak-banyak kehidupan di masa mendatang. (Stephen Covey).
Dalam benak saya ketika membaca buku Stephen Covey, ‘manusia yang sangat efektif’ itu adalah kita diberi kemampuan memutuskan mata rantai kecenderungan tradisi negatif yang terjadi dalam suatu keluarga. Beberapa waktu lalu, dalam satu interview karyawan baru saya menanyakan keluarga calon karyawan yang belum menikah tersebut. Dia menceritakan, dia telah memutuskan mata rantai orangtuanya yang tidak tamat SMU, juga kebiasaan orangtuanya yang menegur anak dengan kekerasan, pukulan, hinaan dan pelecehan harga diri. Tentu saja jawaban spontan itu itu mengejutkan sekaligus menarik. “Kenapa memutuskan mata rantai?’ tanya saya. “Seperti suatu siklus hidup nyamuk bu, saya menyingkirkan genangan air tempat nyamuk berkembang biak. Saya ibaratkan genangan air itu adalah seluruh metode pendidikan sampah orangtua saya,” katanya datar. Sewaktu saya membaca formulir data pribadinya, buku apa saja yang telah ia baca satu tahun terakhir, dan tulisan yang dimuat di media massa serta pengalaman berorganisasi sewaktu kuliah, saya kembali tertegun. Ingat dengan buku Anis Matta bahwa pahlawan sering lahir dari situasi super sulit. Mungkin karena terbiasa mengerahkan mekanisme pertahanan ego agar bertahan hidup menahan luka-luka serta meminimalisasi parut, bekas luka tersebut sehingga warna pribadi tetap normal. Pertahanan ini seringkali melahirkan manusia kreatif karena memiliki daya survival yang tinggi.
Tanpa kita sadari warna hidup kita saat ini, juga warna kita mendidik anak-anak sering mengikuti pola sebagaimana orangtua mendidik kita. Sering orang yang kakek neneknya aktivis masyarakat maka memiliki anak-anak yang juga concern terhadap masyarakat. Lalu ketika tidak semua metode pendidikan yang diwarisi orangtua harus diteruskan pada generasi berikutnya, bagaimana memilahnya? Mungkin disinilah fungsi akal. Pola pendidikan yang salah baru diketahui jika kita memiliki pengetahuan pola pendidikan yang benar. Tanpa bermaksud menghakimi generasi sebelumnya, salah satu kunci orang-orang yang sukses saat ini ternyata terletak pada kemampuannya menganalisa potensi dirinya akibat dampak pendidikan di keluarga kemudian bertekad untuk keluar dari lingkaran setan yang akan diwarisi jika ia tidak waspada.
Tekad untuk keluar itu anda dapat menuliskannya dalam pernyataan misi pribadi, dalam pikiran serta hati. Jika anda berhasil memutuskan kecenderungan generasi-generasi sebelumnya yang materialistis, haus kekuasaan, miskin ilmu, bangga dengan budaya barat, suka bersenang-senang dan malas, maka anda adalah pribadi yang menang dalam merealisasikan misi pribadi tadi. Kata stephen Covey anda dapat mengambil langkah-langkah untuk mengasihi dan memaafkan orangtua anda sendiri, dan seandainya mereka masih hidup, untuk mengembangkan hubungan yang positif dengan mereka dengan berusaha mengerti. Wallahu’alam.

Memiliki Kelenturan Hati

Presiden Amerika John Adams pada tahun 1738-1826 pernah mengatakan ‘ada dua jenis pendidikan.Yang pertama mengajarkan kita bagaimana untuk hidup. Yang lain mengajarkan bagaimana cara hidup’. Mengajarkan kedua-duanya tetap memerlukan seni tersendiri. Pada waktu kita mengajarkan bagaimana untuk hidup seringkali terjebak dalam program S1 dan S2. Lalu kita terkejut, karena setelah anak-anak menyandang gelar tersebut masih saja setiap bulan anda mensubsidi agar anak-anak tetap dapat hidup. Lalu apakah indikator keberhasilan orangtua dalam mendidik bagaimana untuk hidup? Jawabannya bisa saja , setelah tamat kuliah bahkan jauh-jauh hari sebelum kuliah, anak-anak telah dapat mandiri dalam hal finansial. Tidak lagi menjadi benalu. Lalu adakah indikator lain? Mungkin jawabannya kalau anak diberi suatu amanah tertentu dia masih punya kontrol atau kendali. Karena kesenangan tanpa batas pada materi dapat membuat anak overacting dalam merealisasi kecintaannya pada harta benda.
Pengalaman saya dalam mengelola pendidikan usia dini , anak-anak kecil itu terlihat masih seperti playdough atau sesuatu yang masih dapat dibentuk, masih lentur. Orangtua hanya tinggal mengisi dengan nilai-nilai yang baik dan benar. Mengarahkannya menjadi manusia tangguh. Menciptakan hati elang di dalam tubuh merpati yang lembut. Lalu sewaktu menghadapi anak usia mahasiswa, yang tentu saja masih berstatus anak, jelas terlihat perilaku yang sudah terbentuk. Minat belajarnya, etika, pandangan-pandangannya, semua sudah terlihat dengan jelas. Kalau sedang berada di kampus , saya perhatikan mahasiswa-mahasiswa tersebut sambil bergumam dalam hati,’setelah 12 tahun di didik di bangku sekolah dan di rumah, playdough tadi sekarang sudah mengeras dan menjadi sesuatu’. Kalau kita arahkan mengenai etika mereka yang nampaknya tidak pantas, kelihatan matanya tidak senang, tidak nyaman. Ngerinya kalau anak-anak didik usia dini saya akan menjadi keras seperti itu. Antara usia dini dan mahasiswa memang terpaut jauh, belasan tahun. Tetapi satu hal yang menjadi catatan, rentang usia itu kita berperan sangat besar membentuk manusia yang seperti apa. Harapan kita tentu saja sampai dia usia tua, hatinya tetap bersifat lentur, mudah diingatkan setiap terjadi deviasi atau penyimpangan. Pada saat dia merasa benar atau pembenaran terhadap sesuatu hal yang sebenarnya tidak benar, dan ditegur atas ketidakbenaran tersebut, maka dia akan menjawab,”Kalau begitu saya minta maaf, ibu. Saya telah belajar banyak dari kesalahan ini. Saya memang khilaf.”
Kalau saja setiap orang dewasa atau para orangtua mempunyai perasaan yang juga lentur untuk menyadari kesalahan, terus menerus melakukan perbaikan, mungkin anak-anak juga akan ikut lentur untuk bersedia diluruskan setiap terjadi deviasi. Apalagi kecenderungan deviasi ini kerap terjadi pada setiap mahasiswa. Kalau anak bersikukuh setiap peristiwa negatif yang terjadi karena kesalahan orang lain, kesalahan pada fasilitas, kesalahan pada keadaan, semua kesalahan karena hal-hal di luar dirinya, dan bertahan bahwa dirinya paling benar, maka manusia tanpa kelenturan ini akan membuat dia mengalami kesulitan berproses menuju yang lebih baik. Disamping kawan-kawannya juga akan merasa muak ataupun saat dia berkesempatan berkuasa maka dia akan sangat otoriter. Semua dibeli dengan uang. Termasuk membeli simpati.Wallahu’alam.

MELIHAT DARI KACA MATA ORANG LAIN

Marie Curie, seorang ilmuwan wanita pernah bertutur bahwa ‘Tak ada yang perlu ditakutkan dalam hidup ini. Semua hanya perlu dipahami.’

Dengan berbekal berbagai teori kecerdasan emosi sekalipun, pada kenyataannya setiap terjadi konflik , kita sering memaksa orang lain untuk memahami diri kita sesuai dengan yang kita inginkan. Saya adalah parameter, standard kesempurnaan, kalau anda berbeda dengan saya berarti andalah yang salah. Dalam pembicaraanpun, hal yang paling sering kita katakan adalah “kalau saya…”
Pada kenyataannya, seluruh orang diluar diri kita memang berbeda cara berfikir, cara memandang suatu masalah, prinsip dsb. Lalu kapan dan bagaimana kita dapat memahami orang yang memang berbeda dengan kita? Ataukah memang mereka semua salah, lalu kita akan mengajak orang lain dan berusaha mempengaruhi agar mempunyai pendapat yang sama. Menempatkan diri pada posisi orang lain atau berempati adalah syarat mutlak dalam memahami orang lain.
Kadang kita memang perlu berada di posisi orangtua, mahasiswa, dosen, direktur, karyawan, atasan, cleaning service pada saat berkomunikasi dengan salah satu dari mereka. Dengan demikian kita tidak cepat menghakimi orang lain dengan cara berfikir yang sempit. Melihat satu masalah dari berbagai sudut pandang dan apa adanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mendengar merupakan sarana komunikasi yang paling banyak digunakan. Namun, kebanyakan dari kita adalah pendengar yang buruk, tetapi kita masih mempunyai peluang untuk memperbaiki efektivitas mendengarkan.
Kita memang memerlukan orang lain untuk tetap berada pada jalur yang benar. Setiap orang secara fitrah tidak suka dikritik, karena menyangkut harga dirinya. Tetapi, sebagai manusia dewasa justru kita sedang bermain pada dua sisi. Dalam satuhal kita memang diharapkan saling mengingatkan dan terus menerus minta dievaluasi, tetapi pada sisi yang lain kita juga diharapkan mengkritik dengan cara yang benar dan isi kritik juga benar. Jadi ada saling menyeimbangkan. Seorang mahasiswa dengan nilai yang mempri-hatinkan lebih baik menanyakan ke dosen pembimbingnya ‘kiat-kiat belajar’ dari pada menyalahkan seluruh manusia di luar dirinya. Seluruh hal yang terjadi pada kita sepenuhnya adalah tanggung-jawab diri kita sendiri, bukan oranglain.
Semoga kita diberi kemampuan untuk memahami orang lain dan terus menerus melakukan perbaikan diri, life long learning.(ST)

Kematian

Mana antara dua hari yang aku takuti
Hari yang telah atau belum ditentukan
Yang belum ditentukan tidak aku takuti
Takut tak selamatkan aku dari ketentuan
Ali r.a.

Dalam buku manajemen kematian Khozin Abu Faqih yang diterbitkan oleh Syaamil mengatakan ‘kematian adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah dan kedatangannya tidak dapat dielakkan, maka mengapa takut padanya? Toh, takut atau tidak, kematian tetap akan datang. Kita juga diingatkan pada surat Annisa”Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
Akhir-akhir ini kematian terasa begitu dekat. Seperti akan menghampiri setiap jiwa. Sambil berfikir dengan cara apa saya menjemput kematian? Sewaktu melihat jasad Pak Harun Badila, penasehat yang sangat kami sayangi- diturunkan perlahan ke liang lahat beberapa minggu yang lalu, wajah-wajah orang yang berada di sana terpana, sedih, dan pilu . Di dalam hati bertanya-tanya, kenapa begitu cepat. Kenapa tidak sempat silaturrahim ke kantornya. Kenapa tidak menelefon paginya untuk bertanya apakabar. Kenapa serba tidak sempat?
Selalu saja setelah waktu berlalu kita menyesal kenapa tidak berkesempatan berbuat kebaikan untuk mereka yang sewajarnya kita berbuat baik. Kematian memang akan menjemput setiap jiwa. Tetapi kita selalu gede rasa “ah, masih lama”. Lalu setelah melihat pesawat yang jatuh, terbakar berkeping-keping, kita memang bergidik sambil bergumam dalam hati ‘Kalau saja aku salah satu penumpangnya, habislah’. Kita seperti sedang menunggu giliran saja. Tsunami, wabah flu burung, demam berdarah, masih saja kita lolos dari seleksi alam itu. Tentu saja bukan karena kita spesies yang maha kuat karena semua virus atau bencana alam, atau pesawat yang kita naiki semua di luar kekuasaan kita untuk menghindarinya. Manusia teramat sangat lemah untuk merasa aman. Kita yang hidup justru sedang dihajar habis-habisan secara emosional menyaksikan seluruh azab atau ujian ini dengan hati yang miris. Luka dan ketakutan.
Apakah jiwa kita yang kasar perasaan ini akan tersentuh atau hanya sekedar bersyukur selamat dari seluruh bencana tadi? Bukankah yang hidup justru yang masih mampu merasakan kepedihan menyaksikan cara melayangnya jiwa dengan tiba-tiba. Diluar dugaan. Kita memang berduka. Tetapi ada baiknya duka ini kita masukkan ke dalam salah satu ruang hati sebagai rem. Rem yang mengingatkan kita hanyalah sebutir debu yang hina. Rem yang mampu mengendalikan sifat-sifat hewan yang bersemayam dalam benak kita. Karena fisik ini hanyalah rumah sang jiwa untuk sementara. Fisik ini akan busuk, berulat. Tapi jiwa akan kekal. Jiwa akan kembali kepada pemilikNya. Cepat atau lambat. Tapi pasti. Pasti. Kalau saja seluruh peristiwa tsunami, penguburan massal, pesawat jatuh, mayat-mayat yang terbakar ditayangkan setiap hari oleh seluruh media dapat melembutkan jiwa-jiwa yang keras dan mengurangi sifat tamak. Kenapa tidak kita pakai untuk menghentakkan jiwa kita dan berdesis ‘Masya Allah’ dan berdoa Ya Allah jadikanlah hariku yang terbaik adalah hari saat berjumpa dengan Mu.